Refleksi (05/2017)

1 1 0
                                    

Belajar sendiri merupakan cara terbaik agar mengerti. Dia sendiri yang mengatakannya, dia sendiri yang melakukannya. Kadang ia ingin menarik kata-kata itu, dan mengulang semua dari awal.

Ada saja pertanyaan yang mengapung di kepalanya. Terlalu besar untuk dibuang tapi cukup kecil untuk diabaikan. Ingatan saat mereka menyesali masa masing-masing. Tentang kesalahan yang tidak bisa dihapus dan kegagalan seumur hidup.

Entah kenapa orang itu setuju. Mungkin karena kesepian setelah berbulan-bulan tak berbicara dengan siapapun. Barangkali dia sedang putus asa. Atau rasa takut mengelabui pikirannya, jadi ia ingin kedua belah tangan untuk tempatnya tenggelam. Mustahil dia memikirkan cinta, orang itu benci dirinya sendiri.

Lalu mereka mendekat, belajar dan mengerti. Bertahun-tahun kemudian dia masih sering mengacau. Kenapa juga dulu dia sebodoh itu? Bisik-bisik tertukar saat orang itu bersandar di bahunya. Hal-hal menyenangkan. Ocehan tak jelas. Masalah pribadi. Ketakutan. Kebencian absurd pada sikap dan hidupnya. Bekas luka, air mata, hari kemarin dan hari esok. Jika seandainya dia bisa langsung memberi orang itu panduan hidup.

Orang itu mengeluh, otaknya sudah lelah bersedih sampai-sampai dia tak merasakan apa-apa. Kecuali kelelahan yang meresapi tulangnya. Dia ingin berhenti bernafas, berhenti berpikir, berhenti ada. Orang disampingnya menahan diri dari berkata 'kau tak sendiri'. Itu adalah lelucon kejam pribadi mereka. Sesuatu untuk ditangisi dan ditertawakan. Tapi jangan sekarang.

Dan perlahan, nafas sesenggukan di ruangan mereka perlahan melambat. Menjadi teratur ketika salah satu dari mereka hanyut dibawa mimpi sehabis berhari-hari membuka mata. Dan sisanya dibiarkan menatapi langit-langit.

My KaleidoscopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang