Bagian empat

7 3 0
                                    

Kamu hanya cukup percaya, tidak semua indah membuatmu bahagia.
-cnsl

***

Gelap....
Pengap...
Suara yang samar menampar jiwaku
Memaksaku mengikuti suara itu

Tapi di sini gelap
Tak ada cahaya yang mampu menuntunku
Aku merasa tubuhku digoncangkan sesuatu
Tapi tak ada yang menyentuhku

Dadaku sesak
Sebuah memori melekat
Darah, mayat tergeletak
Konde dan anting mawar
Labirin indah namun jahanam

Kepalaku seperti berputar
Setelah gelap, pandanganku memudar
Suaraku tak sanggup keluar
Tubuhku bergetar
Sampai akhirnya, aku tersadar....

"Tante, Ayu udah sadar, nih!" Penglihatanku masih buram, tapi telingaku bisa mendengar suara teriakan Acha. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, atap putih dengan lampu yang seolah menyorot mataku, menjadikannya silau. Ini, di Rumah sakit.

Aku berusaha bangkit hingga sebuah tangan mencegahku untuk bangkit, "Jangan bangun, Nduk. Istirahat dulu!" Suara Ibu membuatku menoleh. Keluargaku menatapku aneh, apalagi Acha dengan tatapan tajamnya.

"Aw!" pekikku kaget saat Acha mencubit perut sebelah kiriku, aku menatapnya heran. Namun dia malah semakin menajamkan tatapannya, dia sedang berkacak pinggang, wajah Acha memerah.

"Ayu, ih! Kenapa bisa pingsan di pinggir jalan, sih? Kita semua itu khawatir, Acha kira Ayu kabur gegara nggak mau beli lilin." protes Acha.

Aku hanya bisa memutarkan bola mata, malas menanggapi celotehan Acha.

Aku menatap Ibu, tersenyum lemah padanya. Ibu mengelus rambutku, "Nduk, kenapa bisa pingsan di jalan?" tanyanya dengan nada khawatir. Aku sedikit tersenyum kecut, "Maafin Ayu, Bu. Kepala Ayu pusing, jadi keknya pingsan di jalan," ucapku berusaha menenangkan Ibu.

"Tapi, bajumu kenapa kotor, Yu? Rambutmu saat pingsan berantakan. Sendalmu hilang pula?" tanya Bude membuatku menelan ludah. Aku berpikir keras menemukan alasan yang tepat. Karena bagaimanapun, tidak mungkin aku menceritakan apa yang aku lihat di Labirin.

"Eh, anu. Tadi Ayu jatuh di jalan yang mau ke Labirin Pesona. Soalnya headphone Ayu diambil anak kecil. Jadi Ayu ngejar dulu. Eh, Ayu jatoh, jadi pingsan, deh." ucapku dengan alasan yang semoga mereka percaya.

"Tapi, kenapa kamu---"

"Eyang, maafin Ayu. Gegara Ayu acaranya berantakan." selaku memotong pembicaraan Bude.

wajahku memelas, Eyang hanya tersenyum lalu mengangguk. Eyang memang tidak banyak bicara, dia hanya berbicara jika dia mau.

Aku rasa, semuanya sudah bernapas lega ketika aku siuman. Pikiranku sama sekali tidak memikirkan acara di rumah. Namun, terus menerawang tentang kejadian yang baru saja aku alami. Tentang Labirin---Labirin Pesona yang penuh misteri.

Semua keluargaku pergi mencari makan malam, hanya ada aku dan Ibu yang menjagaku. Ibu menolak ikut makan dengan yang lainnya. Saat aku memainkan selang infus di tanganku tak sengaja aku melihat Ibu yang sedang menatapku, aku terdiam.

Pasalnya, untuk pertama kalinya, Ibu melihatku dengan seserius itu. Itu membuatku terasa canggung dan kikuk.

"Nak, jauhi Labirin itu!" suara ibu pelan, tapi seolah menekanku. Aku menatapnya heran. Tak mengerti maksud dari ucapan Ibu, "Jauhi Labirin itu atau kamu akan celaka!" ucap Ibu dingin lalu bergegas keluar kamar. Aku terdiam sejenak, mencerna perkataan Ibu.

"Apa maksud Ibu?"

***

Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Tak ada pikiran lain yang menghantuiku.
Cuma satu, Labirin Pesona yang tertuju.

"Siapa mayat yang hilang itu?"
"Siapa lelaki itu?"
"Kemana barang bukti yang aku bawa? Kenapa hilang?"

Pikiran itu terus menghantuiku, tapi sesampainya di kamar. Aku menepisnya. Aku hanya ingin istirahat.

"Ah, akhirnya." ucapku lega saat aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku menatap atap kamarku, lalu mengembuskan napas dengan berat. Aku bangkit, berjalan menuju jendela, sampai mataku melihat sesuatu yang menarik perhatianku.

"Daun?" ucapku pelan saat aku mengulurkan tanganku untuk mengambil selembar daun yang menempel di jendela kamarku. "Apa ini, darah?" tanyaku pada diri sendiri saat aku mengusap darah di atas daun itu, hingga terdapat tulisan.

"Hola, mau bermain petak umpet denganku?"

Deg!

***

Dalam sebuah ruangan besar bernuansa gelap, Fernando duduk sambil menyilangkan kedua kakinya, tangan kanannya memegang sepuntung rokok yang baru saja dia hisap, "Jadi, siapa gadis itu?" tanyanya pada seorang lelaki di hadapannya, lelaki itu berdiri sambil menundukkan kepalanya, "Gadis itu, putri dari nyonya Salma, Tuan." ucapnya semakin menundukkan kepala.

Fernando tampak tersenyum kecut, "Permainan yang menyenangkan," ujar Fernando sambil bangkit, dia membuang rokok yang tadi dia pegang.

Menghampiri seorang lelaki yang sedari tadi menunduk ke arahnya, Fernando mendekatkan wajahnya ke telinga lelaki itu sambil berbisik, "Petak umpet akan dimulai." bisiknya, membuat lelaki itu menganggukkan kepala.

H O L ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang