Bagian Satu

15 3 0
                                    

Langit sedang menangis, awan habis terkikis. Bumi memasrahkan diri menjadi basah, dan matahari terpaksa mengalah. Saat itulah hujan meruah.
-cnsl

***

Kata semesta, langit sedang bermanjakan diri pada bumi. Ingin memandikan bumi yang gersang lewat rinai yang langit tumpahkan, hujan. Tercurahkan agar bumi tidak lupa bahwa bumi dan langit saling bertatapan.

Namun, tidak bagi penghuni bumi. Sebagian dari mereka bersyukur ada hujan di pagi hari, agar tidur nyenyaknya bisa dilanjutkan kembali bersama selimut yang menghangatkan diri dari hawa dingin.

Ada pula sebagian dari mereka ceria, menari di atas tanah, terciprat air hujan, dan tawa yang lenyap oleh hujan, mereka pengagum hujan. Pun, ada pula yang merutuki langit, tak bisa berangkat sekolah, kerja, berbelanja ke pasar, bahkan mengeringkan pakaian.

Seperti ibu-ibu di depan rumahku yang terus berteriak pada langit agar berhenti menurunkan air matanya, supaya dia bisa menjemur pakaian yang basah, aku tertawa kecil melihat tingkahnya.

Langit tak akan mendengarkan ibu-ibu yang cerewet sepertimu, hah.” batinku mengejek.

Mataku mengamati kehidupan di luar rumah lewat jendela, aku sudah siap dengan seragam sekolah, tapi deras hujan seolah menahanku agar tidak keluar dari rumah, selangkah pun.

“Gak bakalan sekolah, Ayu?” Terdengar suara Ibu dari belakang yang membuatku menoleh, pintu kamar tepat Ibu berdiri membawa nampan dengan segelas susu putih hangat kesukaanku, tak lupa senyumnya yang mampu membuat hatiku teduh.

“Hujannya gede, Bu,” ucapku menerima gelas susu hangat yang Ibu sodorkan. Ibu terlihat menggelengkan kepala sambil tersenyum ke arahku. “Wes, rapopo. Tapi, kabari wali kelasmu, yo. Toh, nanti siang akan ada acara keluarga, ‘kan?” Ibu memiliki suara berlogat jawa, sama seperti eyangku.

Aku meneguk habis susu yang Ibu siapkan setiap paginya untukku, hangat mengalir ke tubuhku, mengalahkan dingin yang menerpa kulit tubuh meski sudah tertutupi baju.

Matur suwun, Bu. Nanti Ayu kabari wali kelas Ayu.” ucapku melihat Ibu melangkahkan kaki meninggalkan kamar, Ibu menutup pintu sambil tersenyum lembut ke arahku.

Setelah aku menaruh gelas susu tadi di atas nakas, aku memainkan handphone sambil merebahkan diri di atas kasur, mencari kontak dengan nama wali kelasku, dan mulai mengetik,

“Selamat pagi, selamat mempercantik diri.
Mohon maaf mengganggu waktu luluran ibu, dengan suasana yang menyedihkan karena langit terus menangis pada bumi.
Saya Ayuninda Nursyalum Almalinda memberi tahu suatu hal yang penting pada semesta, terutama ibu. Saya tidak bisa masuk sekolah karena :

1) Langit tidak mau berhenti menangis
2) Dingin menusuk relung sanubari membuat rindu Alma pada ibu terkikis
3) Flu pasti akan menyebar kesana kemari
4) Semesta mengizinkan Alma untuk me time hari ini
5) Acara keluarga besar sebesar sayangnya Alma pada ibu Lily

Semoga, 5 alasan ini mampu membuat ibu mengerti, tentang keresahan hati, dan hari bahagia ini. Maaf, Alma tidak bisa menjelaskan alasannya secara lebih detail lagi, karena Alma yakin, Alma mengganggu acara luluran ibu.

Alma, murid paling baik, bagi ibu.”

Send

Aku terkekeh pelan saat membaca ulang pesan yang aku kirim pada wali kelasku, hingga aku melihat centang biru pertanda ibu Lily, wali kelasku membaca pesanku.

H O L ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang