1.1 - First Meet

52 8 1
                                    


---


Gadis itu melangkah terburu-buru. Sesekali ia menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah darinya lalu meminta maaf. Sembari melirik arloji di pergelangan tangannya dan mendekap sebuah buku tebal, gadis itu duduk di halte menunggu kendaraan yang akan membawanya tiba di sekolah tepat waktu.

Gadis dengan nama Song Seungwan yang tertera di nametag-nya itu mendengus pelan. Ini akibat dia bergadang semalaman hanya untuk menghafalkan lirik lagu yang akan ia nyanyikan pada acara di Cafe tempatnya bekerja. Ditambah lagi alarm kepercayaannya tidak kunjung bersuara tadi pagi.

Seungwan yang akrab dipanggil Wendy itu mendongak, menatap langit yang kini bertransformasi menjadi kelabu. Pertanda sesuatu akan turun dari sana.

“Ah tidak, ku mohon jangan hujan dulu.” Mintanya, memohon.

Akhir-akhir ini cuaca di Seoul memang tidak mendukung. Bodohnya, kemarin ia lupa melihat catatan perkiraan cuaca hari ini. Harusnya Wendy lebih teliti.

“Oh astaga jangan-”

Zrrtttthhh!!

Wendy mendengus pasrah. Hujan sudah turun. Dan sialnya, deras sekali. Wendy semakin berdecak ketika mencium aroma tanah yang mulai memasuki indera penciumannya—yang seharusnya dapat menyejukkan hatinya itu.

Harusnya. Jika suasananya tidak seperti ini.

Lalu sekarang bagaimana? Bus pasti akan tiba lama sekali karena terjebak hujan. Jika saja Son Wendy membawa mantel ataupun payung yang dapat melindungi tubuhnya untuk menerobos hujan, pasti waktu Wendy tidak akan terbuang sia-sia. Tapi lagi-lagi sialnya, ia tidak membawa benda itu.

Padahal ...

“Wendy, bawa payungmu!” Suara itu datang dari arah dapur. Wendy yang tengah memakai sepatunya secepat kilat di pintu utama rumah, menoleh sekilas.

“Tidak Ibu, aku buru-buru.” Ujarnya lantas meraih tas dan bukunya di meja ruang tengah.

“Setidaknya pakai baju hangat untuk melindungimu dari hujan nanti.” Teriakkan itu kembali terdengar lagi bersamaan dengan munculnya seorang wanita paruh baya yang memegang spatula di tangannya.

“Kau-”

“Oh Astaga! IBU AKU PERGII!!”

Wendy menepuk keningnya lalu berlari keluar rumah.

Setidaknya itu kejadian tadi membuatnya menyesal setengah mati.

Wendy bodohhh!! Rutuknya dalam hati.

Lalu sekarang ia harus bagaimana? Apa Wendy terpaksa menerobos hujan tanpa pelindung kepala? Wendy tidak masalah baju seragamnya basah, tapi bagaimana kalau dia sakit? Sia-sia Wendy bergadang semalaman untuk menghafalkan lirik lagu kalau dia sakit dan tidak bisa hadir di acara Cafe. Padahal untungnya lumayan untuk Wendy membeli sepatu baru.

Sayangnya tidak ada cara lain lagi. Wendy berdiri setelah bertekad dan memantapkan diri. Tuhan masih menyayanginya dengan tidak membunyikan petir di tengah-tengah hujan deras ini.

Ketika Wendy hendak mengawali langkah, tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencegat lengannya. Wendy melotot, urung melangkah dan menoleh cepat.

“Jangan hujan-hujanan, nanti kau demam.” Seorang nenek-nenek menasehatinya. Wendy lupa kalau masih ada orang selain dirinya di Halte ini.

Wendy tak mengenal Nenek berbaju abu-abu itu. Begitu pula sebaliknya.

“Tapi aku akan terlambat.” Ucap Wendy, gelisah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[DS 3] SWEET: Expected Person (Wenyeolrose)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang