|| Murberry ||

3.1K 137 15
                                    


                      

                       Zahra POV

Usai kejadian ta'ziran dadakan kemarin, yang membuat mereka kapok  keamanan mulai diperketat. Pohon murberry yang dijadikan sebagai pembatas antara kawasan santri putra dan putri kini telah terpasangi cctv. Santri putra yang sering kali kupergoki tengah mengintip pondok putri dari balik batang kokoh dengan daun murberry yang rindang. Begitu kutanyai sedang apa diatas situ, alasannya cukup membuat ku tertipu, memetik buah murberry ustadzah. Waktu itu aku berusaha menahan tawa ku kala melihat wajah mereka yang terkejut dan tercekat. Kekekh.

Selain itu, ada juga tingkah modus santri putri begitu hari jum'at tiba dimana seluruh santri bekerja bakti atau Ro'an dengan sengaja mereka meletakkan tong sampah begitu dekat dengan perbatasan santri putra.

Namun, sekarang dirinya sudah tak lagi melihat aksi mereka. Rupanya kebijakan ketua kedisiplinan mampu membuat santri badung kapok--kekeh.

"Mbak Zahra!!! –– " 

Asragfirullah, aku tersentak kaget reflek tanganku mengerat pada beton pembatas. Untung saja dirinya mempunyai keseimbangan yang baik. Jika tidak, aku mungkin sudah terjungkal ke bawah. tersadar dari lamunan panjangnya, Menatap jengkel si pelaku, dan berkata.

"Astagfirullah Hawa, salam dulu ke' apa ke'."

"Yee … orang tadi Hawa udah salam tapi mbak nya gak jawab, Hawa panggil panggil juga gak nyaut. Mbak nya malah sibuk ngliatin gus ashrof."

"Apa?!"

Hah? Ngliatin gus ashrof. Aku menoleh cepat kearah perbatasan, dan benar saja disana ada gus ashrof dengan salah satu anggota kedisiplinan. Tapi –– sejak kapan dia ada disana? Ah jadi aku dari tadi ngliatin gus ashrof gitu, aku menutup wajahku dengan satu tangan. Ya ampun pantas saja ustadzah lain pada menatap ku dengan err –– tatapan sulit diartikan mungkin.

Segera kutarik tangan Hawa, masuk ke dalam kamar. Malu akutuh.

"E-eeh, mbak."

"Ada apa kamu panggil mbak."

"Anterin Hawa ya mbak."

Alisku menyatu. "Kemana?"

"Ke kantor, hehe." dia nyengir lebar memperlihatkan gigi gingsul miliknya.

Aku berpikir sejenak. "Yaudah ayo."

"E-eeh, bentar mbak —–

Kulihat dia berjalan menuju meja yang biasa dia pakai buat taruh tugas - tugas milik muridnya. Pernah aku tanya, kenapa gak ditaruh di meja kantor aja si Wa. Dia jawab, katanya meja miliknya yang di kantor sudah dipenuhi barang - barang, sama kitab. Padahal kalau aku perhatiin, mejanya luas - luas aja kok. Dasar emang.

"Tolong bawain ini ya mbak. Hawa bawa sekardus, mbak nya juga sekardus hehe."

Aku mengangguk.

"Mau boyong kamu Wa."

"Enggak, kalau Hawa mau boyong, barang yang lainnya bakal sekalian Hawa masukin ke kardus. Ini mah cuman yang udah dikoreksi sama Hawa aja biar gak nyesek."

Ohh ...

Aku kira kardusnya bakalan berat. Tapi, begitu kuangkat ringannya masya allah. Aku mengintip isi nya, subhanallah bikin aku blank. Kardusnya doang yang besar isinya cuman tiga baris tumpukan kertas.
Reflek, aku geleng kan kepala.

"Kenapa mbak."

"Gak."

    

                   Zahra POV end

Alrisalah From Sang GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang