LEBARAN YANG DIRINDUKAN

1.4K 34 4
                                    

Gadis berusia dua puluh  tahun itu tampak kebingungan, mencari tempat membayar zakat.

"Nyari siapa Mbak?" tanya bapak-bapak di tenda.

"Mau bayar zakat, Pak, di mana ya?"

"Oh sini, di dalam sana, Mbak."

Akhirnya gadis itu keluar pintu tadi dengan rasa lega. Ia sudah membayar zakatnya juga untuk Ibu dan dua adiknya. Segera ia mengambil ponsel dan menghubungi ibunya.

"Assalamuallaikum, Mak."

"Waallaikumsalam, Ratri, Mamak sudah bayar zakat fitrah tadi. Uang yang kamu kirim kemarin sudah beli baju buat adikmu. Mamak juga masak ayam sama sedikit daging. Sayangnya kamu tidak pulang," jawab sang Ibu di seberang sana.

"Ratri juga habis bayar zakat, Mak. Nggak apa kedoble, doakan Ratri banyak rejeki. Lebaran tahun depan bisa pulang ya, Mak."

"Rat, kamu jujur sama Mamak ya, kamu itu sebenarnya kerja apa. Kok ngirim uangnya banyak-banyak. Apa kata tetangga nanti kalau tiba-tiba rumah kita berubah jadi rumah batu?" tanya Mamak pelan.

Namun gadis itu tak menjawab, hanya bilang buru-buru harus naik angkot, dia pun mematikan ponselnya. Kebetulan ada angkot yang lewat, membawa tentengan beberapa kue lebaran, Ratri pun pulang ke tempat tinggalnya.

Di sudut kota, sebuah lokalisasi. Tempat ia mencari rejeki selama enam  bulan ini. Dulu, awalnya Ratri merantau ke Sumatera untuk kerja di rumah makan. Seperti janji sang majikan dengan gaji satu juta lima ratus dapat makan dan tinggal di sana. Sayangnya, semua janji itu tak ditepati. Tiga bulan tak digaji, membuat Ratri nekat pergi.

Tanpa uang, tanpa membawa pakaian, hanya baju yang melekat di badan. Di sebuah terminal, ia pun berkenalan dengan seorang wanita cantik.

"Kamu minggat, ya?" tanya wanita bernama Mbak Sinta itu. Melihat gadis di depannya tampak dekil, sudah dipastikan dia dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Iya, Mbak, kok tahu?"

"Kamu masih gadis, eee perawan gitu?"

"I-iya, Mbak."

"Mau kerjaa? Duitnya banyak, mau?"

Ratri, gadis berusia dua puluh  tahun itu, wajahnya tak terlalu cantik, kulit sedikit gelap, bodynya pun tak seksi. Sampai seusia itu belum pernah pacaran, tak ada pria yang mendekatinya. Karena selain ia tampak kurus, dari keluarga tak mampu. Bapaknya ada di penjara, karena tuduhan membunuh satu keluarga saat merantau.

Dari umur lima belas tahun kerjanya hanya jadi pengasuh anak tetangga, atau tukang cuci seterika. Belum pernah merantau, tidak tahu jahatnya dunia luar. Tak punya prasangka, ada yang menegur dan bertanya, ia pun langsung menganggap Sinta orang baik.

"Kerja apa?"

"Kamu tinggal di rumahku saja dulu, ya, mau?"

Tak ada uang, rasa lapar, tak punya kenalan. Membuat Ratri mengiyakan permintaan Sinta. Sore itu untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di lokalisasi. Ternyata Sinta adalah salah satu mucikari. Ratri melihat banyak rumah-rumah. Terlihat banyak wanita-wanita dengan pakaian sedikit seksi, ada yang tampak sedang bermesraan tanpa rasa canggung atau pun malu dilihat.

Diberi satu kamar ukuran 3x3, beberapa baju yang kelak akan dianggap hutang. Semua ada catatan hutangnya. Ia pun mempunyai perjanjian. Awalnya Ratri menolak, takut, dan tahu itu dosa. Tapi rasa malu untuk pulang, dan tidak punya uang sepeser pun. Akhirnya dengan terpaksa, ia pun nekat.

Malam itu untuk pertama kalinya, Ratri mendengar musik yang bersaut-sautan. Wanita yang tampak menunjukkan semua isi tubuhnya. Jika ibunya selama ini selalu menyuruh untuk memakai baju tertutup. Di sini semua dibuka, bahkan ada yang hampir seperti tak pakai baju.

LEBARAN YANG DIRINDUKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang