prolog.

11.1K 704 143
                                    

"Aku akan segera menemuimu,"


Sebuah tepukan di dahi lebarnya.

Tidak banyak orang yang memberi perhatian pada keningnya. Malah, Sakura tak terlalu menyukainya.

"Terima kasih."

Namun, Sasuke justru membuatnya semakin jatuh cinta dengan gestur afeksi sederhana, yang mungkin tak terlalu ia sukai, tetapi sangat berarti.

Detik itu, Sakura tahu, ia akan menunggu.

Meski selamanya.

Sasuke berjalan menjauh, tidak lagi menatap ke belakang. Hembusan angin mengiringi kepergiannya. Dedaunan kering di tanah membuka jalur baginya,  seakan memberi penghormatan pada pria yang kini akan meninggalkan desa lagi--untuk niat yang mulia.

Udara membelai rambut merah muda Sakura yang mulai terurai panjang dibandingkan sebelumnya. Beberapa helai rambut menutupi dahinya, yang bukan menjadi salah satu suatu fitur kebanggaannya. Akan tetapi, ketika Sasuke menyentuhnya seperti barusan, rasanya ia akan mengubahnya suatu hari nanti.

Ah, apakah Sasuke menyadari perubahan kecil semacam itu?

Sakura tersenyum pahit, sesuatu yang berat menekan dadanya ketika siluet Sasuke kini perlahan menghilang.

Ia menatap langit, tampak pula gerbang desa yang seringkali ia jumpai tiap pulang misi. Kepulangan, kepergian. Desa Konoha tanpa Sasuke... tentunya sudah biasa, bukan? Ia akan merindukannya. Namun, kali ini Sasuke pasti kembali.

Ia sudah berjanji.

"Maaf."

Suara bariton pria menariknya keluar dari lamunan. Euforia yang dibuat oleh Sasuke seketika tersapu hilang ketika Sakura dengan bodohnya baru menyadari ada orang lain di sampingnya.

Ia memutar tubuhnya, seketika menangkap sorot onyx yang memberikan rasa hangat yang sudah akrab dirasanya. Sedetik mata mereka bertemu, Hatake Kakashi mengerutkan matanya, tersenyum.

Sakura membalas senyumannya, "Maaf?"

"Tidak bisa membuat Sasuke tinggal di sini," ia menyelesaikan, membuat wajah Sakura memerah. Sakura memalingkan wajahnya, lalu tertawa.

"Kenapa minta maaf begitu, sih, Sensei. Lagipula tidak ada hubungannya denganku." Ia melipat tangan dan mengeraskan rahang, berusaha terlihat baik-baik saja.

Kakashi terkekeh, "Kau tidak pandai menyembunyikannya, Sakura."

"Menyembunyikan apa?" Sakura semakin memerah.

Kakashi bersandar di badan gerbang, cukup terhibur melihat mantan muridnya itu salah tingkah. Ia tersenyum lebar di balik maskernya, tidak mengatakan apa-apa. Sakura tidak bisa menahan senyum lebarnya, sangat malu, namun rasa senang akan Sasuke masih menjalar di dadanya.

Ia berjalan mendekati Kakashi, hanya untuk memukul kecil lengannya.

"Ouch, tidak baik memukul orang tua, Sakura-chan." canda Kakashi.

"Kau tidak setua itu, Sensei." balas wanita dengan mata emerald yang kini menyorotkan sinar yang pernah ia lihat beberapa tahun lalu, ketika tingginya tidak sepantar--entahlah, kini jauh lebih mudah untuk menatap matanya. Sungguh baru ia menyadari betapa indahnya mata itu. Pasca perang selalu memberikan efek euforia berlebih sehingga ia bernostalgia tak penting semacam ini.

Kakashi mencoba mengalihkan pandangannya. Ah, ia benci figur patung wajahnya yang tengah dipahat itu, tapi lebih baik daripada menatap Sakura.

"Lalu kenapa kau masih memanggilku Sensei, eh? Rasanya seperti ratusan tahun lebih tua darimu."

Awhile.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang