Jaehyun datang lagi.
Namun kali ini, ia tidak sendiri. Laki-laki itu datang bersama putrinya, Winata.
Tangan kiri Jaehyun menggenggam erat tangan mungil Nata, seolah takut kehilangan lagi, dengan tangan lainnya yang penuh karena memegang sebuket bunga.
Jaehyun menatap batu nisan di hadapannya. Tatapannya kosong, namun sendu. Iris mata madunya memancarkan jutaan emosi yang menggebu-gebu karena terlalu lama dibelenggu.
"Ayah, ini makam Bunda, ya?" tanya sang putri sembari mendongak, berusaha menatap ayahnya tepat di retina.
Jaehyun berjongkok; mensejajarkan tingginya dengan putrinya, kemudian tersenyum simpul. "Iya, Sayang. Ini makam Bunda."
Nata melirik buket bunga yang dipegang ayahnya dan bertanya ragu, "Ayah, boleh enggak kalau Nata ... yang taruh bunga itu di atas makam Bunda?"
Jaehyun tersenyum lagi sembari mengacak rambut putrinya dengan gemas. "Boleh dong, Sayang."
Mata Nata membentuk bulan sabit, tangan mungilnya meraih buket bunga yang dari genggaman Jaehyun dan meletakkannya di atas makam sang bunda dengan hati-hati.
"Sekarang kita doain Bunda, yuk?" ajak Jaehyun yang kemudian diangguki oleh putrinya dengan penuh antusiasme.
Keduanya memejamkan mata, saling merapalkan doa tanpa suara. Namun jauh di dalam lubuk hati Jaehyun, ia sakit luar biasa. Sampai Nata merasakan setetes air jatuh ke punggung tangannya yang bebas.
Jaehyun menangis. Ayahnya menangis.
Nata kontan membuka mata, jemari kecilnya ia gunakan untuk menghapus air mata di sudut mata ayahnya yang masih terpejam sembari mengulum bibir; berusaha menahan diri agar isakannya tidak terdengar siapa pun.
"Ayah ... kok nangis? Nata nakal, ya? Ayah jangan nangis, maafin Nata."
Mendengar suara putrinya, mata Jaehyun membuka dengan sempurna. Pandangannya sedikit kabur karena ada gumpalan air mata yang sedang bersiap untuk terjun bebas.
Lelaki itu menggeleng. "Enggak, Nata. Nata nggak nakal. Ayah yang cengeng, maaf ya?"
Gadis berumur 7 tahun itu memeluk Jaehyun dengan erat. Begitu eratnya sampai Jaehyun mengerti bahwa putrinya bisa merasakan emosi yang juga sedang dirasakannya.
"Kalau Ayah kangen Bunda, Ayah peluk Nata aja. Nata enggak mau liat Ayah nangis."
Jaehyun membalas pelukan putrinya tak kalah erat; tangannya mengelus surai halus anaknya. "Nanti Nata nggak bisa kemana-mana, dong?"
"Kok gitu, Yah?" tanya Nata, tidak mengerti dengan kalimat yang Jaehyun lontarkan.
"Karena Ayah selalu kangen Bunda. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun. Enggak ada satu milisekon pun yang Ayah lewatkan, Nata. Ayah kangen Bunda setiap waktu, setiap napas yang Ayah hembuskan. Ayah selalu kangen Bundamu, Nak."
Tidak ada yang Nata lakukan selain mengeratkan pelukannya usai Jaehyun menyelesaikan ucapannya. Nata tidak mengerti perasaan orang dewasa, tetapi Nata cukup peka untuk mengerti bahwa ayahnya sedang membutuhkan pelukan.
Jaehyun menatap batu nisan wanita yang dicintainya lamat-lamat, sebelum akhirnya mengendurkan pelukannya dan berkata, "Udah mau maghrib. Kita pulang, ya? Nanti Ayah masakin sup udang kesukaan Nata. Mau, kan?"
"Mauuu!" Mata bulat Nata berbinar cerah, secerah langit sore itu. Anggukan antusiasnya membuat poninya sedikit berantakan yang lantas mengundang cubitan gemas dari Jaehyun.
Dan tepat sebelum matahari terbenam, Jaehyun mengucapkan satu kalimat yang sudah ia hapal di luar kepala.
"Aku cinta kamu. Selalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGGAH
FanfictionSetahun yang lalu, Renata memutuskan untuk menerima lamaran Jung Jaehyun- sahabatnya sejak SMA dan juga kekasih 3 tahunnya yang cukup sukses. Hubungan mereka hampir tidak pernah diterpa konflik besar. Selain karena Jaehyun yang memberinya hidup berk...