Kami memutuskan kembali ke apartemen setelah Jaehyun membayar belanjaanku. Suasana begitu sunyi sepanjang perjalanan karena tidak satupun dari kami yang mengucapkan barang sepatah kata. Radio yang sengaja tidak dinyalakan itu menambah kesan sunyi yang sudah tercipta.
Pandangan Jaehyun menatap lurus ke depan. Rahangnya sesekali mengeras hingga terdengar suara gemeletuk dari giginya. Lain halnya denganku yang menatap jalanan dengan pikiran kosong. Ini canggung sekali.
Setelah kejadian aneh di supermarket tadi, kami memang jadi benar-benar canggung. Maksudku— Jaehyun itu orang yang paling mengenalku dibanding siapa pun di dunia ini. Dia tidak pernah memberiku cokelat karena tahu aku bisa pingsan kalau memakannya.
"Maaf." Suara bariton Jaehyun menginterupsi. Aku menoleh, menatapnya yang masih fokus menyetir dengan pandangan lurus ke depan.
Dia meminta maaf untuk apa?
"Maaf, aku salah," katanya lagi, kali ini cowok itu menoleh sesaat dan mengambil tangan kananku untuk digenggamnya.
Aku mengulas senyum tipis lalu menggeleng pelan meskipun tidak yakin cowok itu melihatnya. "Nggak apa-apa, Jae. Lupa kan manusiawi, wajar kalau kamu lupa satu dua hal. Aku nggak marah, kok."
Aku nggak marah, kok.
Kalau Jaehyun teramat peka, mungkin cowok itu akan menemukan keraguan di kalimat terakhirku. Aku baru saja berdusta. Untuk pertama kalinya selama aku mengenalnya, aku membohongi suamiku. Imamku.
Sejujurnya aku merasa bersalah— sekaligus berdosa. Aku merasa seperti istri durhaka. Tapi aku benar-benar clueless. Aku marah, bingung, dan tidak tega secara bersamaan.
Bisa saja cowok itu memang lupa, kan? Tapi aku tahu betul Jaehyun bukan tipe orang pelupa, ingatannya sangat kuat. Dan dia sangat paham cokelat adalah makanan terlarang untukku. He takes care of me well. Sedikit mustahil kalau cowok itu lupa begitu saja. Aku menghela napas panjang selagi memalingkan pandangan ke jalanan di sampingku.
"Kamu marah," bantahnya.
Aku tidak menjawabnya.
"Tolong jangan marah, aku mohon."
Oh great. Sekarang cowok itu memohon supaya aku tidak marah padanya. Aku kembali memandangnya yang masih fokus menatap jalanan di depannya.
"Nanti kita omongin di rumah, ya? Aku pusing banget, mau istirahat sebentar. Boleh?" Jaehyun hanya mengangguk menanggapi pertanyaanku. "Nanti bangunin ya kalau udah sampe," lanjutku lagi sebelum akhirnya aku memejamkan mata.
Aku benar-benar butuh istirahat.
Bab III
Solving the UnsolvedAku terbangun di ranjang empukku. Tunggu sebentar— bukankah tadi sore aku tertidur di mobil Jaehyun dan memintanya membangunkanku? Kenapa sekarang aku di kamar? Aku melirik jam digital di atas nakas.
19.22
"Jae?" panggilku lemah dengan suara khas orang baru bangun tidur. Tidak ada sahutan. Aku memutuskan untuk membasuh wajah sebelum mengecek ke ruang depan.
Benar saja. Aku mendapati Jaehyun dengan kaus hitam kebesarannya sedang menatap serius ke arah laptop. Jari-jemarinya sibuk mengetik sesuatu dengan tempo cepat.
"Kamu lagi ngetik apa?" tanyaku begitu mendaratkan bokongku ke sofa empuk yang diduduki suamiku.
Jaehyun sedikit terkejut dan menoleh, ekspresinya menggemaskan sekali. Sumpah.

KAMU SEDANG MEMBACA
SINGGAH
FanfictionSetahun yang lalu, Renata memutuskan untuk menerima lamaran Jung Jaehyun- sahabatnya sejak SMA dan juga kekasih 3 tahunnya yang cukup sukses. Hubungan mereka hampir tidak pernah diterpa konflik besar. Selain karena Jaehyun yang memberinya hidup berk...