Bulan 2

404 52 6
                                    

    "Selamat pagi, Istriku. Masih kurus aja nih bayinya belom nampak."

    Wendy menggeliat setelah merasakan kecupan singkat dari sang suami di perutnya. Ia terdiam, melihat ke arah perutnya sendiri. Suaminya tersenyum. "Tunggu nanti di bulan ketiga kata dokternya." jawab Wendy ringan. "Satu aja sudah pasti buncit banget, gimana tiga ya?" tanya Jae, membuat Wendy terkekeh. "Tidak tahu, aku takut..." gumam wanita itu.

    Jae, yang sudah takut sedari awal hanya bisa mengusap pucuk rambut istrinya itu. "Kamu takutnya kenapa?" tanya Jae, lembut. "Takut tidak bisa mengurus janin ini dengan baik..." jawab Wendy lirih, membuat sang suami semakin merasa bersalah. "Beban, ya? Tiga begitu dibawa?" tanya Jae.

    Wendy menganggukkan kepalanya, lalu menitikkan air mata. Maklum, ia sedang hamil dan perasaannya menjadi sangat sensitif.

    "Eh, don't cry, Wan-ah..."

    "Aku takut, Jae. Takut melukai anak-anak ini..." gumam Wendy, terdengar getir. Membuat Jae iba. "Hey, Son Seung-wan. Look at me."

    Wendy menatap mata suaminya, terdapat sendu dalam keseriusan tatapannya. "Aku tahu, ini berat untukmu, bahkan berat untukku juga. Walaupun gitu, kita pasti bisa melaluinya sama-sama. Aku percaya anak-anak kita kuat juga kalau Mamanya kuat." kata Jae.

    Jae tersenyum, mengecup puncak kepala istrinya yang terdiam membisu. "Ayo makan, aku udah nyiapin sarapan. Lagi kepingin makan telor dadar gulung tomat aku."

    "Kamu ngidam, ya?" tanya Wendy.

    "Iya, kayaknya. Mual banget perutku, pingin muntah rasanya dari tadi."

    "Padahal yang hamil kan aku."

    "Coba USG perutku, Bun."

    "BUN MULU BELOMAN."

    "Aku gak sabar tau."

    "Aku juga tau."

    "Tapi kamu nggak manggil aku Ayah."

    "Belum, sayang!"

    "Papa aja deh Papa. Coba bilang Papa."

    "Kamu ini kayak ngajar anak kecil."

    Jae terkekeh melihat sungutan istrinya itu. Ia mengambil dua potong telur dadar gulung tomat yang dibuatnya tadi. "Biar anak kita nggak ileran, aku langsung buat ini. Semoga enak." ucap Jae. Wendy menyuap sesendok telur dengan nasi ke mulutnya, setelah mengunyah... ia terbatuk.

    "Uhuk... Uhuk! Kamu isiin apa, sih?!"

    "K-kamu kenapa, sayang?"

    "Asin merica pedes aneh gitu? Kamu kepingin kawin, ya?!"

    "Ya itu sih aku mau cuma kan kamunya lagi belum bisa..."

    "Sayang!"

    "Asin, ya?"

    "Banget. Kamu kayak ibu muda kebelet kawin!" ujar Wendy, langsung meminum air. Jae terkekeh, "Kalau itu, sih. Aku sanggup nunggu 2 bulan lagi. Kangen kamu..."

    Wendy spontan menutup wajahnya karena malu. Bisa-bisanya suaminya ini membahas tentang hal itu di pagi hari. "Aku yang buatin telur dadarnya, ya. Kamu tinggal nunggu aja di sini. Kalau kamu mau makan itu juga nggak apa-apa. Kasihan anak-anak kalau kukasih makanan pedas." ucap Wendy, yang dibalas oleh anggukan Jae. Memang kalau untuk urusan dapur, Wendy jagonya. Daripada dikira kebelet kawin, memang rasanya lebih baik dia tidak memasak sama sekali.

***

    Ting, tong!

    "Siapa?" Wendy bertanya setelah menekan tombol interkom di rumahnya. "ENAM HARI!!!" terdengar suara yang keras sekali dari balik pintu apartemennya, ternyata teman-teman Jae. Sepertinya suaminya itu ada jadwal hari ini. "Bentar. Gue bukain, ya!"

Skiplets | Jae x WendyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang