CHAPTER 3 - KESALAHAN

54 17 1
                                    

Gue mengajak Zian untuk pergi ke cafe tempat biasa kami mengerjakan tugas untuk membicarakan hal penting. Gue sudah memutuskan untuk menjauhi Zian walaupun hati gue gak mendukung hal itu. Zian pun menyetujui ajakan gue, seperti biasa Zian jemput gue di rumah, gue gak nolak karena gue mau bersikap biasa aja sebelum gue ngomong itu ke Zian.

Sesamapinya di cafe, gue cuman pesen minum dan Zian juga. Gue masih bersikap biasa aja seakan-akan gak akan ada yang terjadi, dan Zian pun gak curiga sama sekali. Awalnya gue ragu untuk ngomongin hal ini, tapi gue udah bertekad untuk melakukan hal ini.

“Lo mau ngomong apaan? Penting banget ya Es?” kata Zian.

“G....gu...gue mau ngomong kalo....” balas gue terbata-bata.

“Kalo apa?” tanya Zian.

Gue memberanikan diri untuk ngomong

“ Gue udah pikirin mateng-mateng hal ini, kayaknya kita harus jaga jarak mulai sekarang.” kata gue.

Dengan wajah bingung Zian berkata “Maksud lo Es?”

“Yaa kita harus jaga jarak, lebih tepatnya kita gak usah ketemuan dulu. ujar gue “Gue pengen kita menjauh dulu” lanjut gue.

“Kenapa?” tanya Zian lagi.

“Gak papa, gue bosen deket sama lo terus Zi” kata gue. Gue gak bermaksud untuk ngomong gitu ke Zian, mulut gue spontan untuk ngomong gitu.

Seketika itu gue langsung melihat raut muka Zian yang terkejut sekaligus kecewa dengan omongan gue yang tadi.

“Oohh yaudah kalo itu keinginan lo” kata Zian dengan nada dingin. “Yukk gue anter lo pulang” lanjut Zian.

Selama di perjalanan kami tidak berbicara sepatah kata pun. gue teringat raut muka Zian tadi, gue merasa kalo omongan gue tadi terlalu kasar. Gue merasa bersalah, rasanya gue mau nangis tapi gak mungkin nangis di depan Zian. Hati gue perih, gue gak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Biasanya isi mobil ini selalu dipenuhi dengan tawa, tapi sekarang hanyalah kecanggungan yang mengisi mobil ini.

Sesampainya dirumah, gue turun dari mobil Zian dan berkata “Bye Zian” itu kata terakhir yang aku ucapkan kepadanya. Zian hanya tersenyum dan langsung pergi tanpa berkata apa-apa. Melihat senyuman itu, hati gue kembali perih. Gue langsung buru-buru pergi ke kamar dan air mata gue mulai jatuh perlahan-lahan.

“Kenapa rasanya sakit sekali, apa gue salah ngomong gitu ke Zian?” hanya kata-kata itulah yang ada di dalam pikiranku.

Malam itu gue gak bisa berhenti menangis, entah kenapa hati gue rasanya seperti mau meledak. Gue gak pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya, gue mencoba untuk berhenti menangis sampai akhirnya gue pun tertidur karena lelah.

*Keesokan paginya*

Ini adalah kali pertama gue pergi kuliah tanpa Zian, gue memutuskan untuk pergi menaiki ojek online. Tidak ada kabar dari Zian, media sosialnya pun tidak aktif dari semalam.

Rasa khawatir menyelimuti, takut terjadi apa-apa padanya. Tapi hati tak sanggup untuk menanyakan kabar. Yang hanya bisa gue lakukan hanyalah  menegarkan diri sendiri “Lo harus kuat Es, lo yang mau hal ini terjadi jadi lo harus kuat!”.

Sesampainya gue di kampus, gue langsung memasuki ruang kelas, duduk di pojok belakang dan mengeluarkan buku sembari mengulas materi sebelumnya. Tidak lama kemudian, dosen geu pun datang dan gue mengikuti kulliah seperti biasa.

Setelah kuliah selesai, temen-temen gue langsung menghampiri gue dan menyerbu gue dengan bebagai pertanyaan-pertanyaan.

“Lo kenapa Es? Kok mata lo bengkak sembab gitu?” tanya Syifa.

“Lo nangis Es?” tanya Sisi

“Gak apa-apa, gue cuman lagi gak enak badan aja” balas gue dengan nada lesu.

“Lo sakit? Kenapa lo gak izin aja?” tanya Misha.

“Udah gak usah nanya terus, ntar gue nambah sakit nih” ujar gue.

“Yaudah kita makan aja gimana? Supaya badan lo enakan Es” kata Sisi sambil senyum-senyum.

“Hayukkk” balas Syifa dan Misha. Sedangkan gue hanya mengangguk-angguk setuju.

Sesampainya di kantin, gue mencari meja yang kosong sedangkan temen-temen gue memesan makanan. Saat itu keadaan kantin sangat ramai, tapi samar-samar gue melihat sosok Zian yang sedang makan bersama teman-temannya dan sesaat hati gue langsung merasakan perih yang mendalam ketika gue melihat seorang cewe yang duduk di depan Zian dan raut muka Zian yang tampak sangat bahagia ketika sedang berbicara dengan cewe itu.

 Semudah itu lo lupa dengan kejadian kemarin?”.
 

Rasa Yang Pernah AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang