3. Lain

60 10 4
                                    

"Uhm... saya mau ngelanjutin pendidikan sampai setinggi-tingginya, Pak. Kalau saya dan orang tua saya mampu, saya pingin lanjut terus sampai jadi doktor." Kirana menatap Pak Marko—guru Sosiologi yang kala itu tengah mengajar—dengan mata antusias. Senyum kecil terbit tepat setelah ia menjawab pertanyaan Pak Marko mengenai jenjang pendidikan yang akan ditempuhnya kelak.

Kirana pikir, mengenyam pendidikan setinggi mungkin adalah suatu keharusan sebab kemolekan saja tak cukup. Ia harus punya bekal lain yang membuatnya berguna, yang membuatnya mampu melakukan hal-hal yang selalu ia impikan, yang membuatnya dihargai dan disegani. Dunia terlalu kejam dan terlalu licik. Sekali lagi, kemolekan saja tak cukup untuk menghadapi kejam dan liciknya dunia. Gadis itu sadar bahwa ia—sebenarnya setiap orang—butuh sesuatu yang jauh lebih kuat dari itu semua, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk tameng—bahkan pedang.

Sepasang mata di balik bingkai itu masih menatap Pak Marko. Ada kilau di sana yang jelas sekali terlihat. Ia bangga mengatakan keinginannya di depan sang guru, di depan teman-temannya yang lain, dan bangga karena ia memiliki keinginan itu.

Awalnya Kirana pikir Pak Marko akan memberinya senyum sebagai dukungan agar ia bisa benar-benar mewujudkan mimpinya. Alih-alih senyum atau apapun itu yang Kirana harapkan, guru berkumis tebal itu menatapnya sejenak, memberi jeda setelah ia melontarkan jawaban.

"Kadang," Pak Marko memulai, membuat Kirana memasang telinga lebar-lebar—menanti tanggapan sang guru, "perempuan kalau pendidikannya terlalu tinggi, laki-laki suka takut dekatin, ngga ada yang berani dekatin."

Kilau di matanya kian lama kian hilang. Kirana pikir perkataan semacam itu akan ia terima dari orang-orang berpemikiran tertutup, orang-orang berpemikiran kolot yang sama sekali tak pernah ia duga bahwa gurunya akan berkata demikian. Ini bagai mimpi buruk. Kirana menggigit bibir bawah bagian dalam, menatap sang guru dengan mata lesu namun sarat akan perasaan tak terima.

"Ya, bukan apa-apa." Pak Marko menatap Kirana—jenis tatapan di mana ia ingin memperhalus perkataan yang sebelumnya agar tak menyinggung. "Karena kan banyak perempuan yang berpendidikan tinggi, cerdas, dan akhirnya memilih buat tetap sendiri sebab merasa ngga butuh laki-laki. Mungkin, akan lebih baik kalau menikah dulu, baru kemudian melanjutkan pendidikan."

Saat itu kelas amat hening. Beberapa teman sekelasnya melirik Kirana bergantian, menunggu kalimat apa yang hendak dikatakan oleh Kirana yang kerap membuat mereka geleng-geleng kepala saking 'liar'nya.

Memang apa salahnya dengan perempuan berpendidikan yang memilih untuk sendiri? Toh, itu memang pilihan dia. Toh, itu mungkin memang membuatnya jauh lebih nyaman. Toh, mencari pasangan hidup mungkin memang bukan prioritasnya. Bahwa mungkin hidupnya memang ia dedikasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Mungkin ia memiliki prinsip hidupnya sendiri. Lantas, kalau menikah dulu lalu baru melanjutkan pendidikan, apakah itu hal yang mungkin? Apakah itu akan benar-benar berjalan maksimal? Bukannya setelah menikah ia jadi mulai disibukkan dengan urusan rumah tangga? Terlebih kalau sudah punya anak. Terlebih kalau suaminya tidak mengizinkan. Lagi pula, bukannya biaya pendidikannya bisa saja terpakai untuk biaya rumah tangga? Melanjutkan pendidikan setelah menikah belum tentu efektif. Ada banyak hal yang harus dikorbankan dan dipertimbangkan. Pendidikan justru akan lebih mudah dijalani saat masih lajang, masih belum punya beban lain selain pendidikan itu sendiri. Lalu, kalau tidak ada laki-laki yang tidak mau mendekati karena ia berpendidikan tinggi, apakah lantas menjadi kesalahan perempuan itu?

Itu adalah suara hati Kirana yang entah mengapa tak bisa ia utarakan saat ini.

Kalimat panjang itu terus berlanjut di benaknya sementara matanya masih menatap Pak Marko. Banyak sekali yang ingin ia katakan pada guru tersebut. Banyak sekali emosi dan bahkan pertanyaan yang ingin ia tumpahkan di depan teman-temannya. Tapi, ia tak bisa—dan ia tak tahu kenapa. Kirana merasa lidahnya kelu. Demi Tuhan, ingin rasanya ia meneriakkan apa yang berputar di otaknya tapi ia benar-benar tak bisa.

DisparitasWhere stories live. Discover now