1. Penginderaan Jauh Bikin Gaduh

228 22 6
                                    

"Di kelas ini cuma ada satu orang yang ngga ikut remedial." Suara itu menggelegar, membuat seisi kelas bak tertusuk sebilah pisau tepat di jantung. Wanita bertanda nama Sri Sulistiyowati di bagian kiri baju dinas itu merapikan kertas-kertas ulangan di meja lantas menatap anak muridnya satu per satu. "Gimana ini? Masa, yang dapat nilai seratus cuma satu orang?" Guru geografi itu berdiri di depan kelas. "Gimana?"

"Ya, habis, Ibu ngasih KKM seratus. Turunin dong, Bu. Enam puluh, gitu?" Bobby—cowok yang duduk tepat di depan Bu Sri menyahut, membuatnya mendapat tatapan maut. "Hehehe. Ibu ngelihatinnya intim banget, Bu. Saya jadi salting," celetuk Bobby, membuat seisi kelas menunduk dan mengulum bibir rapat-rapat, menahan rasa geli di perut akibat menahan tawa.

Kicauan siswa bertanda nama Bobby Basupati itu membuat Bu Sri menggeleng pelan. Cengiran cerah terbit dari wajah Bobby, membuat Bu Sri rasa-rasanya ingin sekali meyemprot siswa itu, namun Bu Sri pikir itu hanya akan membuang tenaga. Setelah mendesis—memerintahkan muridnya untuk diam—Bu Sri meletakkan kertas-kertas tersebut di meja Bobby. Sang siswa menatap kertas-kertas itu lantas menatap Bu Sri yang matanya nyaris keluar dari porosnya.

"Bagiin. Jangan cungar-cengir aja. Saya muak lama-lama lihat kamu nyengir," ujar Bu Sri, membuat tawa seisi kelas tak terbendung lagi. Wanita itu duduk, meninggalkan Bobby dengan cengiran yang terbit untuk kesekian kali siang ini.

Dengan gerakan cepat, Bobby berjalan kesana-kemari untuk membagikan hasil ulangan teman-temannya. Remaja itu mendecak ketika Doni—teman sebangkunya—berkata, "Panggilin aja satu-satu sih, Bob. Ribet amat mondar-mandir gitu. Digaji juga kaga."

"Olahraga," jawab Bobby enteng. "Nih, punya lo. Bobrok bener nilai lo, Don," ejeknya, ketika melihat angka yang tertera di kertas ulangan Doni bahkan tak menyentuh angka tujuh puluh. "Makanya belajar!" Bobby tertawa sejenak lantas menyadari bahwa kertas yang kini ada di genggamannya tinggal dua lembar.

Senyum miring terhias di wajah Bobby. Remaja itu sama sekali belum menemukan nilai sempurna sedari tadi. Ia menyimpulkan bahwa dirinyalah yang akan mendapat nilai seratus dan tidak usah ikut remedial nanti. Membayangkan itu membuat Bobby terkikik geli. "Goblok," ia mengucapkan kata itu tanpa suara pada Doni kemudian kembali terkikik sambil melihat sisa kertas ulangan di tangannya. "Wes, cepek, nih!" Bobby memekik.

"Udah buruan, Bobby! Saya mau nerangin materi!" Bu Sri berucap geram.

"Iya, Bu, maaf. Hehehe." Cowok itu menatap teman-temannya yang membisikkan nama orang yang diduga mendapat nilai sempurna itu. Hela napas keluar dari mulutnya. "Gue yang dapat cepek!"

"Hoax!"

"Dih?!" Bobby mengerutkan dahi. Buru-buru dibacanya nama yang tertera di kertas ulangan itu kemudian menyengir lagi. "Hehehe. Iya, deng. Bukan gue. Tau aja lo pada." Ia berjalan menuju kursinya, kemudian menyerahkan kertas tersebut pada siswi yang duduk di belakangnya. "Oy, Kirana Maheswari." Sang empunya nama menatap Bobby. "Punya lo. Selamat ya, nilai lo cepek lagi. Kalau ngadain syukuran, jangan lupa ngundang."

Kirana mengambil kertas ulangan miliknya, melihat angka yang tertera di sana kemudian menarik napas dan membuangnya perlahan. Dilipatnya kertas tersebut untuk kemudian diselipkan dalam buku. Samar dan nyaris tak terlihat, gadis itu tersenyum kecil. Ia lega, tentu saja. Senyum kecil yang nyaris tak terlihat di wajah Kirana memudar ketika ia menyadari bahwa Bobby tengah menatapnya sambil menahan kikik geli. Gadis itu mengeryit. "Kenapa?"

"Senang, ya, dapat cepek? Cie-cieeee," setengah berbisik, Bobby menunjuk Kirana, membuat gadis itu mengernyitkan alisnya lebih dalam. Ditatapnya Kirana dengan mata makin menyipit. "Pakai cara apa sih lo, dapat cepek terus? Bagi-bagi, dong. Biar gue sekali-kali bisa dapat cepek. Jangan elo mulu." Ia memberenggut, menunjukkan kertas ulangannya dengan nilai yang bahkan tak menyentuh angka enam puluh—membuat Doni terkikik geli sambil mengucap berbagai kalimat keji menyayat hati.

DisparitasWhere stories live. Discover now