Tepat setelah bel istirahat berbunyi dan guru yang tadi mengajar mempersilakan para siswa untuk beristirahat, Bobby mengambil langkah besar-besar untuk keluar kelas. Remaja itu bergegas menuju kantin dan masuk ke dalam kerumunan siswa lain yang mengantre untuk mendapat makanan yang dipesannya.
Sepasang mata sipit itu bergerak-gerak cepat, mengawasi lauk yang terpajang di etalase. Sejenak, ia menelan saliva. Rasa-rasanya ia mampu menghabiskan seluruh isi etalase dan nasi yang masih mengepulkan asap itu sekarang juga. Tapi, tidak, deh. Bobby kan cowok paling baik, ramah, rendah hati, dan suka berbagi, dirinya mana tega menyantap semua makanan itu sementara siswa lain kelaparan? Tidak manusiawi—padahal ia tidak punya uang sebanyak itu untuk memborong semua makanan.
"Bu, nasi satu, pake oreg sama semur ayam. Ayamnya yang paling gede ya, Bu!" seruan Bobby barusan sukses membuatnya mendapat lirikan dari siswa lain di sana. Cowok itu membalas lirikan mereka—yang mayoritas adalah adik kelasnya. "Apa lu? Sirik?" ujarnya sambil memperlihatkan badge kelas yang menunjukkan bahwa ia adalah anak kelas dua belas.
Para adik kelas dengan badge berangka 'XI' terkikik geli, mendapati adik kelas mereka—anak kelas sepuluh—memilih untuk membuang tatapan setelah mendengar kalimat terakhir Bobby dan mengetahui bahwa cowok itu adalah kakak kelas. Ya, wajar, sih. Mereka kan, masih baru, belum tahu kalau Bobby tidak sepatutnya ditakuti begitu.
Sambil menunggu nasi bungkusnya, Bobby mengetuk-ngetukkan jari pada kaca etalase. Sesekali dihirupnya aroma masakan yang aduhai wanginya, membuat cacing-cacing di perutnya makin tak terkendali.
"Woy, Bang." Tepukan di bahunya membuat Bobby berhenti mengetuk-ngetukkan jari pada etalase. Ia menoleh, mendapati anak kelas sebelas tengah menatapnya.
"Apaan?"
"Diajakin sparing futsal sama tetangga gue. Kuy ga nih?"
"Kapan?"
"Ntar malem. Iyain jangan?"
Bobby diam sejenak. Cowok itu tampak menimbang-nimbang. "Boleh, dah."
"Wesh, mantep." Cowok itu menepuk-nepuk bahu Bobby lagi.
Usai menerima dan membayar nasi bungkusnya, Bobby kembali menatap cowok itu. "Lo setim sama gue, kan?"
"Iyalah."
Giliran Bobby yang menepuk bahunya. "Siplah. Ntar kabarin aja. Gue duluan, Jun."
"Yoi, Bang."
Sambil menenteng seplastik nasi bungkus, Bobby hendak kembali ke kelas. Cowok itu berhenti ketika kepala Doni tiba-tiba menyembul keluar dari bilik kamar mandi siswi. Sontak, Bobby terkejut.
"Lo ngapain di situ, Don?!" Mata sipitnya membelalak, pikirannya tengah memikirkan segala kemungkinan yang baru saja Doni lakukan di bilik kamar mandi siswi. "Lo ngin—"
"Bacot banget sih lo." Doni keluar sambil menepuk-nepuk celananya. "Gue kebelet, tahu?! Kan tadi gue udah bilang. Mana nasi bungkus gue?"
Bobby menyengir namun tak bertahan lama sebab ia baru ingat bahwa dirinya tak membelikan nasi bungkus pesanan Doni. Ia terlalu sibuk memikirkan nasib cacing-cacing di perutnya sampai lupa kalau ada nasib cacing-cacing di perut Doni yang perlu ia pikirkan juga. "Gue lupa, Don. Sori, sori."
Mata Doni berputar. Cowok berhidung mancung itu lantas mendecak sebal. "Ya udah, gue beli nasi dulu. Tungguin!" serunya sambil berlalu dari hadapan Bobby yang kini tengah mengangguk-angguk.
Bobby bersandar pada tembok, membuatnya mendapat tatapan dan lirikan dari siswi-siswi yang lewat. Awalnya ia bingung hingga akhirnya Bobby sadar bahwa sedaritadi tembok yang menjadi sandarannya adalah tembok kamar mandi siswi. Ah... pantas saja mereka seolah mengulitinya dengan tatapan.

YOU ARE READING
Disparitas
FanfictionBerbeda itu tidak apa. Kirana dan Bobby membuktikannya. Start: 23-03-20 Disparitas ⓒ 2020 by Minyowow.