17|Halo, Sat

411 142 15
                                    

Beberapa hari sudah Bagas mencoba menjauhi Rahel. Namun, rasanya, semakin dijauhi semakin menjadi pikiran. "Halo, Sat, lo di mana? Balapan yok."

"Gila lo, belum kapok juga hampir mati dikeroyok anak buah Alex habis menang balapan?" Terdengar suara Satria yang meninggi beberapa oktaf dari sambungan telpon.

"Ya nanti kalo lawannya Alex gue mundur, makanya lo temenin gue bego, cepetan, gue udah mau jalan. Lo tega lihat gue mati?"

"Bangs-" Bagas menutup telponnya. Ia memakai hoodie hitamnya asal dan segera bergegas menuju area balapan. Sungguh, sekarang ini Bagas sedang membutuhkan pengalihan.

Pikirannya sedang kacau. Entah apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan.

°°°

"Lo yakin mau minum bir?" Tanya Satria. Sekarang mereka sedang berdebat di depan lemari pendingin minimarket. Bagas tidak jadi balapan, karena tadi ada operasi.

"Emang ngapa?"

"Ya lo kan belum pernah minum sebelumnya."

"Ya ini makanya gue mau coba." Bagas mengambil beberapa kaleng dan membayar di kasir. Mereka berduapun keluar dan duduk di depan minimarket sembari menikmati hembusan angin malam. Bagas mulai membuka satu kaleng dan meneguknya pelan.

Tiba-tiba saja Satria menerima telpon. Setelah itu, "Gas, gue mau pulang. Serah lo deh mau minum seberapa banyak. Yang penting cepet pulang."

"Yoi."

"Kabarin gue ya."

"Hmm." Bagas hanya berdeham. Yasudah, Satriapun segera bergegas.

Satria benar-benar pergi bersama motornya. Meninggalkan Bagas sendiri. Bagas melempar kaleng pertama dan berhasil masuk ke dalam tong sampah. Lalu ia membuka kaleng berikutnya dan meneguknya lagi. Posisinya masih belum berubah, masih duduk santai di atas kursi minimarket.

"Lo gila?!" Teriak seseorang tiba-tiba. Bagas tidak menghiraukannya. Bagas sangat membenci orang itu. Rasanya, Bagas ingin menghajar habis-habisan orang bernama belakang Antonio itu. "Lo ngapain minum bir di sini, njing? Satria mana?!"

Agam menengok ke sekeliling tetapi tidak menemukan Satria ataupun teman Bagas yang lain.

Bagas meneguk tegukan terakhir dan melempar kalengnya ke tong sampah lagi. "Bangsat kenapa lo ada di mana-mana sih?!" Bagas berdiri, namun kepalanya sedikit pusing, wajar saja, ini pertama kalinya ia minum minuman seperti itu. Meskipun hanya bir, ini tetap berdampak padanya.

"Mau ke mana lo?" Agam bertanya cepat.

"Pulang, sepet mata gue lihat muka lo." Bagas berusaha menahan rasa pusing itu dan segera melajukan motornya.

"Gila tu bocah." Decak Agam. Ia merogoh sakunya dan menghubungi seseorang.

"Halo, Rahel. Lo lagi di rumah kan?"

"Heem."

"Cepet ke rumah Bagas. Barusan gue lihat dia minum bir depan minimarket."

"Serius lo?"

"Buruan, ntar kabarin gue lagi ya."

"Oke oke, thanks, Gam."

Sambungan telponnya diputus oleh Rahel. Agam cukup khawatir dengan Bagas, dan ia bisa merasakan kekhawatiran Rahel yang jauh lebih besar darinya. Kalo yang minum bir itu gue, apa lo juga bakalan sekhawatir itu, Hel?

°°°

Deru motor mulai terdengar memasuki pekarangan rumah tingkat dua itu. Suasana malam yang begitu sunyi, membuat derunya terdengar sangat bising.

Rahel sudah berdiri tepat di depan pintu rumah itu. Ia melipat kedua tangannya di depan dada sambil menggigit bibir bawahnya. Semoga saja Bagas baik-baik saja, ucapnya terus menerus di dalam hati. Ia tau betul bahwa Bagas tidak bisa mengkonsumsi minuman seperti itu. Bagas itu sedikit sensitif. Bahkan Bagas juga tidak bisa menghirup asap rokok terlalu lama.

"Itu apa?" Tanyanya frontal saat Bagas menginjakkan kaki ke teras rumah.

Bagas yang sedikit pusing masih belum connect dengan apa yang Rahel tanyakan. Bagas memegangi pelipisnya dan mencoba lebih fokus. Tanpa basa-basi Rahel merampas kantong plastik yang dibawa Bagas membuat Bagas terkejut. "Lo apaan sih?!"

"Lo yang apa-apaan. Ngapain minum kayak gini. Gila kali ya." Rahel melalui Bagas begitu saja sambil membawa kantong plastik tadi.

"Mau dibawa ke mana?"

"Mau gue minum."

"Balikin, Hel!" Teriak Bagas yang sama sekali tidak dihiraukan Rahel. Ingin sekali Bagas mengejar dan mengambil balik barang miliknya, tetapi tidak ia lakukan. Selain ia pusing, ia belum bisa berhadapan dengan gadis itu. Ia belum siap mengetahui lebih jelas perasaannya pada Rahel.

Rahel sudah sampai di rumahnya. Ia membawa barang Bagas ke dalam kamar. Untung saja tidak ada mamanya, jadi ia tidak perlu ditanyai macam-macam.

"Masalahnya dia apa sih, Ya Allah." Rahel menghela napas panjang sambil memandangi minuman Bagas yang sudah ia susun berjajar di lantai.

Bagas memang bandel. Ia nakal dan seringkali melanggar aturan. Tetapi tidak pernah sekalipun ia melakukan hal yang tidak memberikan manfaat untuknya. Dulu Bagas pernah bilang, ia senang mengikuti balapan karena ia akan mendapatkan uang saat menang.

Ia sering nongkrong di Marja, karena ia nyaman dengan lingkungannya, ia senang berada di sana. Ia seringkali terlibat tawuran untuk membela teman-temannya, supaya kelak ia juga akan dibela.

Tetapi Bagas juga pernah bilang, ia tidak bisa menghirup asap rokok dan juga minum minuman beralkohol, sebab masih ada orang yang harus ia lindungi. Jika ia tidak melindungi dirinya sendiri, bagaimana bisa ia melindungi orang-orang itu.

"Ngapain sih Bagas, bisa gila gue mikirin dia." Rahel berdecak. Ia sudah mengantuk. Iapun ke kamar mandi untuk gosok gigi sekalian untuk membuang minuman setan itu. Ia membuka satu persatu kaleng dan menuangkan isinya ke wastafel. Ia benar-benar membuang semua minuman yang Bagas beli.

Setelah itu, Rahel kembali ke kamar dan bersiap tidur.

Wait. Ada pesan masuk di line. Pasti sudah ketebaklah dari siapa, hahaha. Inisialnya Calon suami Rahel.

Pesannya tidak sepanjang biasanya. Ralat, kali ini pesannya sangat singkat. Hanya satu kata saja, Hel, diikuti oleh satu tanda tanya.

Rahela.
Udah, Gam. Gue baik-baik aja kok, ini mau tidur. Jangan lupa besok lari pagi.

Melalui pesannya itu, Rahel menjawab semua pertanyaan yang terbesit di benak Agam. Meski Agam hanya mengirim pesan sesingkat itu, Rahel sangat tau apa yang sebenarnya ingin Agam tanyakan.

Rahel sudah sangat mengerti Agam, dan ia yakin, Agampun juga begitu. Rahel benar-benar merasa nyaman, aman, dan bahagia berada di dekat Agam. Namun, jika untuk menjadi tambatan hatinya, Rahel belum siap. Rahel merasa dirinya masih labil.

Rahel tidak mau kehilangan Agam, tetapi ia juga punya rasa ingin memiliki seorang Bagaskara. Rahel sudah jatuh cinta kepada pribadi Bagas. Dan untuk bisa beralih ke Agam, semua butuh waktu.

Entah yang sedang ia lakukan ini benar atau salah, Rahel sangat percaya dengan takdir indah Tuhan. Lagipula ia masih terlalu muda. Masih banyak yang harus ia kejar.

💚💚💚


always youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang