16|Bekalnya dimakan Satria

432 151 24
                                    

Jam istirahat sudah hampir berakhir dan Bagas belum juga mengantar bekal. Terpaksa Rahel harus menyusul ke kantin. Ia tidak sendiri, seperti biasa, ia ditemani anjing paling setia di muka bumi ini, haha, maksudnya Agam. 

"Jalannya cepetan dikit dong, Gam." Rahel kesal dengan Agam yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel. "Bentar, Hel. Parsya ngambek ini." Jawab Agam yang tetap fokus pada ponsel. 

Akhirnya Rahel mau mengerti dan mengurangi kecepatannya sehingga sejajar dengan Agam. "Kenapa?" Tanya Rahel sambil mengintip ponsel Agam. Mereka berdua berjalan berhimpitan saat ini. Dengan Agam yang masih sibuk membalas pesan dari Parsya sembari bercerita pada Rahel. 

Rahelpun mendengarkan dengan baik sekaligus menyimak isi pesan mereka. Agam bilang, Parsya marah sebab kemarin Agam menolak pergi dengannya tetapi malah mengantar Rahel dan Cinta berbelanja. Ditambah lagi, Cinta bercerita bahwa Agam dan Rahel membeli baju couple.

Rahel hanya ber-oh-ria menanggapi Agam. Ia sendiripun juga tidak pernah berpacaran. "Eh, itu Bagas. Gue ke sana dulu." Rahel langsung berlari saat melihat Bagas duduk bersama teman-temannya di kantin.

"Hel." Agam berniat mencekal, tetapi Rahel sudah berlari, "Ah, sial." Mau tidak mau, iapun ikut berlari menyusul Rahel. 

"Bagas, bekal gue mana?" 

"Lah, ini bekal lo, Hel?" Satria yang awalnya menyantap bekal dari Bagas berhenti seketika. Sungguh ia tidak tau. Tadi, Bagas bilang Rahela tidak masuk sekolah, jadi daripada terbuang sia-sia, bekalnya ia makan saja. "Kata Bagas lo gak masuk?" 

Rahel diam menunggu penjelasan dari Bagas. 

Bagas berdiri bersamaan dengan datangnya Agam, "Nah kebetulan ada Agam, minta aja sono sama dia." Ucapnya, kemudian berlalu begitu saja. 

"Kenapa tuh orang?" Tanya Agam. Akan tetapi, Rahel juga tidak tau. Bahkan saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah menatap punggung Bagas yang semakin lama semakin menjauh. Ada apa dengan Bagaskara? Beberapa tahun sudah ia membawakan bekal untuk Rahel, baru kali ini ia memberikan bekal itu kepada orang lain. 

Agam masih belum mengerti. Ia menatap teman-teman Bagas yang kebetulan juga teman-temannya di Marja seolah ingin bertanya apa yang sedang terjadi. Tetapi tidak ada gunanya, semua mengendikkan bahu tanda tidak tau. 

"Gue balik ke kelas, Gam. Bagas beda." Setelah Bagas, kini Rahellah yang pergi secara tiba-tiba. 

"Lah, Hel? Gak jadi laper?"

Tidak ada jawaban. Rahel tetap kukuh ingin kembali ke kelas. Memang sekilas tampak sama. Rahela dan Bagaskara. Sama-sama terfokus pada keinginan dan keyakinannya sampai terkadang lupa dengan orang di sekitarnya.

°°°

"Hel gak pulang?" Hana yang baru saja selesai menyalin catatan di papan tulis bertanya pada Rahel yang masih anteng-anteng saja di tempat duduknya, padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi sepuluh menit lalu. 

"Lagi nunggu Cinta ekstra."

"Yah, sorry banget gak bisa nemenin, motor gue waktunya servis soalnya, ntar kalo kesorean kena tilang." Raut wajah Hana yang semula ceria berubah menjadi sedikit merasa bersalah. 

"Yaudah, gapapa kok. Gue bareng lo aja deh keluarnya." Rahel yang sebenarnya masih nyaman di dalam kelas ikut bersiap-siap mengingat sudah tidak ada orang lain selain mereka di sini. Mereka berjalan keluar dari area kelas. Lalu mereka berpisah di persimpangan koridor, karena Hana ingin menuju parkiran motor, sementara Rahel ingin ke lapangan basket. 

Rahel duduk di bangku yang ada di luar lapangan sambil menikmati pemandangan yang begitu indah. Dan betapa beruntungnya dia, sebab ia menemukan pangerannya sedang bermain basket. Sungguh ia tidak tau jika akan ada Bagaskara di sini. 

Setaunya, Bagas tidak bermain basket. Dan selama ini, Rahel yang lumayan sering duduk di sinipun belum pernah melihat penampakan Bagas. 

Seutas senyuman tersungging di bibir manisnya. Tapi tunggu. 

Setelah beberapa menit mengamati, ia baru sadar, Kanaya. Cewek itu lagi, batin Rahel. Bagaimana ia bisa lupa jika Kanaya adalah pemain inti basket putri di sekolah. Dan tentu saja saat ini Bagas bermain untuk menemani Kanaya. Dan bodohnya, Rahel baru saja menyadari saat lapangan sudah mulai menyepi dan menyisakan mereka berdua, Bagas dan Kanaya. 

Sontak, senyuman indah tadi berubah menjadi senyuman masam. 

"Lah, Rahel, kok lo belum pulang sih?" Suaranya familiar.

"Eh, Gam lo ngapain di sini?"

"Lo yang ngapain? Lo belum makan dari tadi siang bodoh, ngapain masih di sini?" Agam berjalan mendekat dan duduk di samping Rahel. Dan tentu ia juga melihat pemandangan indah yang membuat hati Rahel sangat ngilu itu. 

"Lagi nunggu Cinta." Jawab Rahel cepat sebelum Agam berpikiran yang tidak-tidak dengan keberadaannya di sini. 

Agam memandangi Rahel sejenak. Bibir gadisnya itu terlihat sedikit pucat. Selama ini, Rahel belum pernah melewatkan makan siangnya. Tetapi hari ini, ia belum memasukkan apapun ke dalam mulutnya. 

Sebenarnya Agam sedang membawa dua bungkus mie. Tadi ia memesannya lewat aplikasi ojek online. Tapi ini untuk Parsya. Sekarang pasti Parsya sedang menunggu di gazebo. Buru-buru Agam menggelengkan kepala dan memberikan sebungkus mienya pada Rahel. "Nih, makan."

"Kok lo tau gue lagi pengen mie?" Mata Rahel berbinar, ia terlihat sangat antusias. "Apa sih yang gak gue tau dari lo, Hel." Namanya Agam ya tetap Agam, tidak pernah melewatkan satu kesempatanpun untuk menggombal. 

Rahel segera membuka bungkusnya, dan langsung mulai makan dengan senang hati.

Agam masih memperhatikan sekitar. Bagas dan Kanaya masih bermain bola basket di sana. Untung bangku ini tertutupi oleh pohon, jadi Agam dan Rahel tidak terlalu kelihatan dari sana. Tak lama, ada seorang siswi yang lewat, Agam memanggilnya, "Eh, Dek, Dek." Siswi itu mendekat. Mungkin ia masih sungkan dengan kakak kelas. 

"Iya, Kak, ada apa ya?"

"Lo lewat gazebo nggak?" Siswi itu mengangguk dengan sopan. "Nah, kebetulan banget, titip ini ya, buat cewek yang duduk di gazebo, namanya Parsya, gak penting juga sih. Ah pokoknya tolong lo kasihin ke cewek di gazebo ya."

"Oh iya, Kak, ini gak perlu ngomong apa-apa kan?"

"Nggak, nanti gue yang chat dia. Makasih yaa."

"Sama-sama." Siswi itu pergi. 

Rahel menyadari sesuatu. Pasti sekarang ini Agam juga sangat ingin makan mie ini. Sungguh ia merasa bersalah kepada temannya itu. "Kok gak bilang kalo lo belinya cuma satu?"

"Gue belinya dua kok."

"Ya tapi kan satunya punya Parsya. Trus lo ngapain nemenin gue? Harusnya kan lo sama Parsya." 

"Lo itu segalanya buat gue, Hel. Udah makan aja."

"Gak mau."

"Yah, kok gitu, gue udah susah-susah beli loh itu."

"Lo harus makan dulu, baru gue makan lagi." Rahel mengangkat sesumpit mie tepat di depan bibir Agam. Agam tersenyum sekilas. Mau tidak mau ia harus menuruti perintah gadisnya itu. Andai Rahel tau bahwa Agam akan melakukan apapun untuknya. 

"Udah noh."

"Gitu dong, makannya gantian ya." Rahel tersenyum kemudian melahap mie lagi. Lalu ia menyuapkan mie ke mulut Agam lagi. Begitu terus. Sesekali mereka tertawa bersama karena humor receh yang dilontarkan Agam. 

Sungguh dunia sangat indah bagi Agam. Ingin sekali ia menghentikan waktu supaya terus bisa bersama gadisnya itu. Supaya senyuman indah itu selalu terukir di wajah gadisnya. Tapi sayang seribu sayang, waktu tidak akan pernah bisa berhenti atas kehendak manusia. Apalagi manusia sejenis dirinya.

Sementara itu, di sisi lain, 

"Yang kuat, Gas." Kanaya menepuk pundak Bagas untuk menguatkan, padahal dirinya sendiri sedang tidak bisa berdiri dengan kokoh.  


💚💚💚

always youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang