✉ 8 || Riga Nara Neonatha

2K 326 37
                                    

Aku tahu kalau mengajak seseorang menyelesaikan misi bersama itu lebih sulit dari bergerak secara individu. Tapi entah kenapa, aku tidak ingin cewek itu celaka. Aku tahu banyak hal soal pemilihan Raja dan Ratu Sekolah ini, tapi cewek itu benar-benar buta.

Terdengar suara berisik dari lapangan basket outdoor. Rupanya, lagi-lagi itu adalah suara yang berasal speaker yang sengaja diletakkan di tengah-tengah lapangan. Aku melirik jam tangan. Tepat pukul tujuh.

Aku menarik Vienna ke lapangan basket indoor. Sejenak, aku mengedarkan pandangan. Aku bisa mengenali para kandidat dengan baik. Cowok dengan topeng warna putih yang dihiasi bulu-bulu berwarna biru itu Rangga. Cowok di sebelah Rangga—yang menggunakan topeng berwarna hitam—itu Doni. Mey dan Fany sama-sama menggunakan topeng berwarna kuning. Anna menggunakan topeng berwarna abu-abu. Andreas menggunakan topeng warna biru.

Semua kandidat berhasil kukenali. Aku melirik Vienna yang tampak bingung. Aku lagi-lagi merasa aneh pada sikap cewek ini. Dia sepertinya kesulitan mengenali orang. Apakah hanya aku yang berpikir begitu atau memang sebenarnya begitu?

"Vien, pisau lipat yang tadi gue pinjemin ke lo, simpen baik-baik. Jangan sampai ada yang tau kalau lo bawa senjata tajam. Jangan lukai kandidat lainnya. Cukup pertahanin diri lo dengan menyelesaikan setiap misi. Kalau ada kandidat yang celaka, jangan sekali-kali lo bela. Kalau lo yang akan celaka, jangan segan-segan untuk melawan." Aku memberinya petuah. Sekarang, aku merasa diriku ini keren luar biasa.

Tapi Vienna masih diam. Kurasa dia masih mencoba memahami omonganku. Dia memasukkan pisau lipat yang kuberikan ke dalam saku dressnya. Dia melirikku sekilas lalu menatap ke lapangan.

Aku dan Vienna memasuki lapangan basket outdoor dalam diam. Semua anak juga tampak tidak banyak bicara. Pasti mereka juga merasa deg-dengan sekaligus penasaran.

Suara dari speaker kembali terdengar. Awalnya hanya gemerisik yang berisik. Tapi lama-lama suara gemerisik itu berhenti dan berganti suara jernih laki-laki.

"Selamat Malam kandidat Raja dan Ratu Sekolah. Malam ini adalah pertemuan pertama kalian. Saatnya kalian bersaing untuk menunjukkan siapa yang pantas dan siapa yang tidak pantas. Kalian akan mendapatkan misi pertama." Kalimat-kalimat itu diucapkan dengan lancar oleh entah siapa itu.

Ada jeda sejenak. Sepertinya akan ada pergantian pembicara. Benar saja, kali ini suara cewek yang terdengar di seluruh penjuru lapangan outdoor. "Misi pertama kalian adalah menemukan mahkota untuk kandidat Raja dan Ratu Sekolah. Masing-masing mahkota sudah diberi nama pemiliknya. Temukan mahkota kalian dalam waktu dua jam. Apabila kalian tidak bisa menemukan mahkota kalian dalam waktu dua jam, otomatis kalian akan gugur. Waktu pencarian kalian dimulai dari sekarang. Semoga beruntung!"

Aku segera berjalan ke arah gedung kelas. Di sini, aku bisa melihat kelas-kelas yang pintunya tertutup tapi tidak terkunci. Aku mencoba masuk ke salah satu ruang kelas. Kelas sementaraku selama MOS.

Deg! Sial, Vienna tidak mengikutiku. Gimana sih cewek itu! Apa dia tidak paham maksudku?!

Oke, fokusku jadi terpecah, kan. Aku harus memastikan bahwa aku tidak gugur malam ini. Aku punya misi tersendiri. Tapi aku juga sudah berjanji untuk melindungi Vienna—walau aku hanya berjanji di dalam hati dan pada diriku sendiri.

Aku celingukan mencari ke area luar kelas. Aku merogoh saku celanaku dan mengeluarkan ponsel. Awalnya, aku hendak menelpon cewek itu. Lalu aku sadar bahwa kami tidak saling bertukar kontak. Sial!

Aku memasukkan ponselku kembali. Oke, aku harus fokus mencari mahkota sialan itu terlebih dahulu.

Aku sudah menelusuri ruang kelasku dan hasilnya nihil. Aku mengecek ke kelas sebelah dan masih tidak ada hasil. Di mana kira-kira Raja dan Ratu Sekolah menyembunyikan mahkota-mahkota itu?

Aku mencoba membuka laboratorium bahasa. Tidak terkunci juga rupanya. Ya, satu-satunya laboratorium yang ada di antara ruang-ruang kelas adalah laboratorium ini. Aku jadi penasaran untuk mengecek ke dalam.

Aku melongok ke laci meja dan keberuntungan berpihak kepadaku. Aku menemukan satu mahkota. Sebentar, biar kulihat namanya. VEE. Inisial?

Otakku berputar sebentar. Ya, aku tahu mahkota ini punya siapa. Sepertinya inisial VEE itu adalah Vienna. Aku membawa mahkota itu keluar. Di salah satu ruang kelas, aku mendengar keributan. Rupanya itu suara Mey dan Anna.

"Mey, kasihin ke gue sekarang!"

"No way. Lo harus cari mahkota gue dulu baru kita tukeran."

"Gue nggak lagi bercanda ya!"

"Gue juga enggak. Pokoknya mahkota lo ini akan ada di tangan gue sampai lo nemuin mahkota gue. Impas kan?"

"Impas lo bilang?"

Oke, aku berhenti mendengarkan keributan yang dibuat oleh Mey dan Anna. Aku sendiri belum menemukan mahkota atas namaku. Bagaimana jika mahkota atas namaku sebenarnya tidak ada? Bagaimana jika mereka semua sudah mengatur agar aku tidak bisa menyelesaikan misi pertama ini? Sial, aku selalu saja berpikiran negatif.

Aku mencoba menelusuri lorong di hadapanku. Lantai dua? Kurasa belum banyak yang mengecek ke sana. Di lantai dua, selain kelas, ada ruang rapat guru. Di sebelahnya lagi ada ruang remidial. Dari mana aku tahu? Tentu saja aku sudah menghapal denah SMA ini. Aku tidak mau terlihat seperti orang tolol—seperti tadi sore saat aku sedang mencari ruang makan—dan berputar-putar tak tentu arah.

Susuai dugaanku, kedua ruangan itu tidak dikunci. Aku membuka pintu ruang rapat guru perlahan. Terdengar suara orang memekik kaget. Gara-gara pekikan itu, aku juga terlonjak kaget.

"Siapa?" tanya cewek itu memastikan.

Ya, dia Vienna. Bajunya itu lho yang terlihat mencolok di malam gelap. Bikin merinding saja.

Cewek itu menatapku dengan kerutan di dahi yang sangat kentara. Entah kesadaran dari mana, aku justru memperkenalkan diri pada cewek aneh itu, "Gue Riga."

Aku lalu masuk ke dalam ruangan lalu menutup pintu. Aku memperhatikan Vienna yang bergerak kaku. Kenapa dia bisa begini aneh? Bukankah barusan dia tidak mengenaliku?

Aku melirik ke mahkota yang kugenggam. Kuserahkan mahkota itu pada pemiliknya, "Punya lo."

"Thanks," ucap Vienna seraya mengambil benda yang kuangsurkan. "Mahkota kamu belum ketemu?"

Aku mengangguk. "Ini gue masih cari."

"Biar aku bantu." Cewek itu mencoba mencari lebih giat lagi. Mungkin dia merasa berhutang budi padaku yang telah menemukan mahkotanya.

Aku ikut menggeledah ruang itu. Aku baru tahu kalau ruang rapat ini sudah alih fungsi menjadi gudang. Pasalnya, banyak sekali kardus yang disimpan di sini. Tidak mungkin kan para guru mengadakan rapat di tengah-tengah tumpukan kardus-kardus ini?

"Nggak ada apa-apa di sini." Vienna membalikkan tubuhnya mengahadapku. Aku setuju dengannya. Di sini memang tidak ada barang yang kucari.

Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku keluar dari ruang rapat yang sudah jadi gudang itu. "Ayo cari di tempat lain."

o0o

Setelah mencari cukup lama, aku berhasil menemukan mahkota itu. Vienna yang semula mengajakku pergi ke ruang ganti. Di sana, kami berpencar. Aku menggeledah ruang ganti putra. Sedangkan Vienna membantuku mencari di ruang ganti putri.

Walau kedengarannya sedikit aneh, mahkota atas namaku ternyata disimpan di ruang ganti putri. Untung saja aku membawa Vienna, jadi aku tak perlu masuk ke ruang ganti putri hanya untuk mendapatkan mahkota sialan itu.

Terdengar sirine meraung-raung dari arah lapangan basket outdoor. Aku melirik ke arloji. Rupanya itu pertanda bahwa waktu pencarian sudah berakhir.

Aku memandang ke arah Vienna. Cewek itu juga tampak sedang memandangku. Kebetulan sekali, ya?

Aku berbisik pelan, "Kita lihat siapa yang akan tersingkir malam ini."

o0o

Pada bosen nggak sama cerita ini? Masih mau lanjut? Jangan lupa vote dan komentar ya!

Love you all ❤

PEMILIHAN RAJA & RATU SEKOLAH (BAGIAN 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang