Aku sengaja berangkat ke sekolah pagi-pagi. Sebelum ke sekolah, aku mampir terlebih dahulu ke rumah Vienna. Aku sampai di depan rumah Vienna saat keadaan masih sangat sepi. Ya memang aku tidak pernah melihat keributan sih di sini. Bahkan berpapasan dengan orang pun tidak pernah.
Aku memarkirkan motorku di tepi jalan tepat di depan rumah Vienna. Setelah kutunggu hingga beberapa menit, tak terlihat aktivitas dari rumah cewek itu. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Apa iya dia tidak bersiap-siap pergi ke sekolah?
Aku memutuskan turun dari motor. Perlahan aku berjalan menyeberangi halaman depan hingga sampai ke teras. Aku mencoba mencari bel rumah, tapi tak kutemukan. Akhirnya aku mencoba mengetuk pintu.
Aku menunggu barang beberapa waktu hingga pintu itu terbuka. Aku bisa mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di hadapanku. Wanita itu tampak kaget melihat kedatanganku. Apa wanita ini adalah ibu Vienna?
"Pagi, Tante. Vienna nya ada?" tanyaku santun. Aku bahkan menjabat tangannya. Aku juga menjelaskan niatanku datang kemari, "Saya mau menjemput Vienna supaya bisa berangkat ke sekolah bersama, Tan."
Wanita itu menaikkan sebelah alisnya. Tapi tak lama kemudian, senyum yang cantik terukir di bibirnya. Kalau kuperhatikan, wanita ini memang mirip Vienna saat tersenyum.
"Masuk dulu. Saya panggilkan Vienna," ucapnya sembari membuka lebar daun pintu.
Aku berjalan dengan kikuk memasuki rumah Vienna. Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah—hmm, kurasa tidak baik membicarakan rumah orang. Dari pada menilai yang tidak-tidak, aku menundukkan kepala. Tante itu masuk ke rumahnya. Tak lama, Vienna muncul dari dalam rumah. Cewek itu kelihatan baru bangun tidur.
"Riga, ngapain kamu pagi-pagi ada di sini?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Sorry, gue dateng nggak bilang-bilang," jawabku bingung. Aku bingung kenapa aku justru merasa bersalah begini. Padahal bukankah hal yang wajar untuk datang ke rumah teman. Apalagi, aku berniat mengajak Vienna berangkat bareng ke sekolah.
"Tidak apa-apa untuk datang kemari. Silakan diminum." Tante itu muncul dari dalam dengan membawa nampan berisi segelas minuman berwarna merah. "Minum saja tidak apa-apa kan? Kebetulan kami sedang tidak bisa menjamu dengan baik."
Aku mengangguk kaku. Vienna berlalu mengikuti ibunya masuk. Lalu, seorang lelaki paruh baya masuk ke ruang tamu.
"Temannya Vienna?" tanyanya sambil mendudukkan diri di sofa.
Aku mengangguk, sambil bangkit berdiri dan mendekat padanya untuk menjabat tangan.
"Vienna tidak punya banyak teman. Bagus sekali kalau akhirnya ada yang datang kemari." Om itu terkekeh.
Aku juga berusaha rileks. Apa yang perlu kutakutkan? Tidak ada sesuatu yang aneh dari rumah dan orang tua Vienna. Aku berusaha menormalkan kembali detak jantungku yang riuh.
Om itu menatapku lekat, seperti tengah menganalisis wajahku atau mungkin penampilanku. Wajar saja kan bagi seorang ayah untuk menilai apakah seseorang cocok berteman dengan anaknya atau tidak. Untung saja tampangku ini ramah dan murah senyum. Penampilanku juga rapi, licin, dan cocok jadi anak baik-baik.
"Kamu putra keluarga Neonatha?" tanya Om itu mendadak.
Aku menegakkan tubuhku kaget. Bagaimana bisa ayahnya Vienna menebak asal keluargaku dengan tepat?
"Kok Om tau?" tanyaku polos. Kusadari bahwa tampangku pasti keliatan goblok.
Om itu terkekeh. "Saya hampir bisa mengenal seluruh pengusaha skala besar yang ada di negeri ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMILIHAN RAJA & RATU SEKOLAH (BAGIAN 1)
Mystère / Thriller[Sebelum baca, follow akunku dulu yah!] #1 di Thriller [21 Juni 2020], #1 di Teror [21 Juni 2020] Bagaimana perasaanmu jika mendapat undangan untuk menjadi kandidat Raja dan Ratu Sekolah? Kamu pasti merasa senang bukan. Pemilihan Raja dan Ratu Sekol...