"Suster, tolong berkas ini dikirim ke bagian penyakit dalam." Mendengar penyakit dalam, sontak teringat bunda yang ada di panti.
"Dok, tentang penyakit dalam, bisa saya tanyakan beberapa hal?" tanyaku, Dokter Fatimah beralih menatapku, "maksudnya nanti, kalo dokter sudah tidak sibuk."
Kini ia tersenyum ramah kepadaku. "Jika untuk lebih mendalam, akan lebih baik langsung bertanya ke dokter bagian itu karena itu bukan ranah saya," ucapnya.
"Tidak-tidak, bukan hal yang berat kok ... boleh kan, dok? Boleh ya?" pintaku. Selanjutnya, ia hanya tersenyum dan kembali sibuk dengan urusan Aldo.
"Mulai malam ini Aldo akan berada dalam pengawasan kami, Pak ... jadi, tidak perlu khawatir." Ada perasaan sedikit lega terlihat dari wajah Pak Heru.
Kami meninggalkan ruangan Dokter Fatimah, tugasku menenangkan Pak Heru agar tidak perlu terlalu khawatir.
"Pak, kita pulang ke rumah, jemput Bu Halimah juga ... pasti beliau sangat khawatir sekarang." Pak Heru hanya mengangguk, kusadari kondisinya sekarang ini.
"Suster, awasi terus pasien Aldo ... gamis ini terlalu mencolok kalo digunakan di rumah sakit." Sempat kudengar Fatimah berbicara dengan perawat saat kami melewati ruangannya. Dia tersenyum, sungguh manis dan menenangkan.
"Permisi dokter, butuh bantuan kendaraan?" Segera kutawarkan tumpangan. Ayolah, kurasa ia tidak bisa menolak.
"Terima kasih, saya akan pulang sendiri saja, permisi." Mungkin karena tuntutan profesi, menolak pun dengan ramah dan lembut.
Pak Heru menatapku, tiba-tiba ide muncul. Tersenyum ke arah laki-laki paruh baya itu dan seolah paham Pak Heru pun mengangguk.
"Dokter, bagaimana kalo ikut kami saja kebetulan ada yang ingin saya tanyakan tentang Aldo." Ajakan Pak Heru menghentikan langkah Fatimah.
Berhasil, dokter cantik itu menyerah. Memang bukan disengaja juga Pak Heru mengajak Dokter Fatimah pulang bersama kami, memang karena ada hubungannya dengan kondisi Aldo.
"Bapak tidak perlu khawatir, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Aldo, InshaaAllah ... kalo begitu saya permisi dulu, terima kasih Pak Ali sudah mengantar." ucapnya ketika sudah di depan rumahnya yang mewah.
Tunggu!
Pak Ali? Apa aku setua itu?
"Hmm, saya masih muda dan belum beristri ... jadi, panggil Ali aja ga usah pake Pak," protesku dalam intonasi yang lembut sih. Fatimah keluar dari mobil dengan isyarat terima kasih sekali lagi.
"Tuan, suka ya sama dokter itu?" tanya Pak Heru ketika kami melanjutkan perjalanan.
"Tuan lagi? Ali saja atau kalo engga ya Nak Ali, gitu loh Pak!" Aku pura-pura marah dan Pak Heru tersenyum. Syukurlah, setidaknya beliau melupakan sedihnya sesaat.
Pertanyaannya tidak kujawab, entahlah aku sendiri bingung dengan perasaan ini.
Suka? Saat melihatnya aku memikirkan Sofiyah. Di mana dia sekarang? Seperti apakah dia? Adikku pasti tidak kalah cantiknya.
"Ah, tidak mungkin! Masa dia Sofiyah, yang benar aja." lirihku.
Setelah mengambil kebutuhan selama di rumah sakit, Pak Heru dan Bu Halimah kuantar kembali ke rumah sakit tempat Aldo dirawat. Mereka terpaksa membangunkan putri kecilnya yang masih balita. Sedangkan dua anak lainnya sudah besar dan bertugas menjaga rumah. Aku hanya mengantar mereka, dan meminta maaf tidak bisa ikut menemani berjaga karena harus pulang.
"Tidak apa-apa, Tuan ... justru kami selalu merepotkan, benar kan Pak?" ucap Bu Halimah yang disambut dengan anggukan oleh Pak Heru. Setelah pamit, kutinggalkan rumah sakit.
Namun, saat berhenti di lampu lalu lintas, kulihat barang pasangan itu tertinggal. Merasa bertanggung jawab, kuputar balik menuju rumah sakit. Tidak terlalu jauh."Bu dokter yang merawat Aldo itu mirip sama Tuan Ali loh, buk!" ucap Pak Heru kepada istrinya yang tengah membelakangiku.
"Benar, Pak? Dokter wanita atau laki-laki?" tanya Bu Halimah.
"Bu dokter."
"Jangan-jangan jodoh tuh, Pak ... kan, biasanya jodoh itu mirip." Ucapan Bu Halimah membuatku senyum-senyum sendiri.
"Mungkin juga sih bu, tapi kok bapak ngerasa kayak bukan ya?"
"Bukan apanya sih, Pak? Tuan Ali itu udah ganteng, tinggi, pinter, baik lagi ... kan banyak perempuan yang datang, tapi akhirnya ditolak."
"Iyah sih, cuma bapak ngerasa gimana gitu? Apa jangan-jangan bu dokter udah punya suami, ya?
"Hush, bapak ini! Sok tau, siapa tau aja belum kata bapak Bu Dokter masih muda banget, kita kan ga tau jodoh ... bapak aja yang jelek ini jadi jodoh ibu!" Kali ini ucapan Bu Halimah membuatku tercyduk sedang mendengar obrolan mereka karena tidak bisa menahan tawa.
"Eh, tu-tuan!" kaget Pak Heru.
"Ini Pak ada barang ketinggalan di mobil tadi makanya saya balik antar," ucapku sambil menahan tawa.
"Owalah, terima kasih Tuan udah repot anterin," syukur Bu Halimah. Kali ini aku benar-benar pamit.
Diperjalanan pulang, ucapan Bu Halimah terngiang di pikiranku. Mungkinkah Dokter Fatimah itu, jodohku?
Ah, memikirkannya saja membuat perasaan jadi tidak karuan. Lama-lama robek juga nih bibir, senyum mulu.
> Fatimah
Ya Allah, lelah fisik dan lelah hati ini. Bermain game membuat otakku tenang sedikit.
"Sebelum ijab qabul tadi, Harry menatap layar ponsel yang tertera nama itu."
Ucapan laki-laki yang baru kukenal tadi, tiba-tiba terngiang. Anehnya, bukan ucapannya yang kupikirkan. Namun, orang yang mengucapkannya.
"Siapa dia? Mah, Pah ... Fatim kangen, tadi ada laki-laki yang kadang mengesalkan, tapi sebenarnya dia baik." Beginilah aku, dalam kesendirianku, membayangkan Mamah dan Papah sedang mendengarkan cerita tiap hari yang kujalani.
"Maafin Fatim ya, Mah! Tadi Fatim nangis dinikahannya Aliya, padahal kan udah janji ga nangis ... Fatim juga minta maaf sama mamah, ternyata Harry bukan jodoh Fatim seperti yang Mamah mau dulu, dia itu jodohnya Aliya, tapi Fatim bahagia kok."
"Fatimah, ga mau kalo Aliya terus merasa bersalah ... jodoh bukan salah siapapun, jodoh tidak ada yang tau ya kan, mah? Urusan Allah, kali aja gitu jodoh Fatim cowok tadi, eh!" Buru-buru kututup mulut.
"Bicara apa aku tadi, aneh-aneh aja ... maafin ya Mah, Pah keceplosan! Heheh ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Terlarang
RandomSungguh indah dan romantis kisah cinta Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah. Cinta hadir di antara keduanya, bahkan setan pun tidak mengetahui dan menyadarinya. Namun, bukan seperti itu yang terjadi di antara Fatimah dan Ali dalam kisah ini. Sangat ru...