Kebetulan saja-

16 1 2
                                    

"Terus?" Aku sudah tahu maksud dan arah pembicaraannya. Namun, sebelum ia menjawabnya, terlebih dahulu kulanjutkan kalimatku. "Aku tau Harry, dia hanya merasa bersalah padaku, padahal kan aku tidak apa-apa, lagian udah setahun kali."

"Dokter? Dokter Fatimah, kan?" Seorang tamu wanita menyapaku dan membuat laki-laki itu urung bicara.

"Dokter?" lirih laki-laki itu yang masih bisa kudengar. Benar, aku seorang dokter. Lebih tepatnya dokter anak. Lalu, wanita yang menyapaku adalah orang tua dari pasienku.

"Wah, bisa ketemu di sini harusnya tadi saya ajak saja Faiz, anak saya itu selalu tanyakan Dokter Fatimah katanya mau diperiksa di rumah sakit aja," ujarnya terkekeh.

"Bagaimana keadaan Faiz sekarang, Bu?" Saling tanya jawab bersama Ibu dari pasienku, membuatku mengabaikan laki-laki itu. Kupikir dia sudah pergi, ternyata sedang menyimak hingga membuatku terheran setelah Ibu dari pasienku pamit pergi.

"Ternyata dari tadi aku bicara sama Bu Dokter, toh?" ucapnya.

"Aku pikir kamu udah tau pekerjaanku dari Harry." Dia menggeleng.
Baiklah, kenal dengan satu laki-laki lagi kurasa tidak masalah.

"Namaku Muhammad Ali Furqon." Dia mengulang kembali perkenalannya. Kali ini dengan nama panjangnya.

"Aku, Fatimah Az-Zahra."

"Ada tambahan dokter dong di depannya, maaf tadi ga sopan sama Bu Dokter." Laki-laki yang sopan, kubalas dengan anggukan. Lagipula dia juga kan tidak tahu, dan juga sebenarnya aku merasa risih saat di luar pekerjaan orang memanggil dengan gelarku. Tidak ada yang salah, hanya saja aku merasa seperti dibedakan. Menurutku status kita sama, menjadi seorang hamba. Hanya Allah yang bisa menentukan tingkat setiap hamba-Nya dari amal ibadah masing-masing. Dipahami saja, namanya juga kita makhluk dunia yang fana ini.

Tiba-tiba gawaiku berdering. Suasana di gedung sedang ramai, sehingga aku hanya mendengar kalimat yang mengharuskan kembali ke rumah sakit.

"Mau ke mana?" Ali menghentikan langkahku.

"Rumah sakit, ada pasien." Tanpa menghiraukannya lagi, aku berlari. Kupikir nanti saja beri kabar ke Aliya kalau aku pulang lebih dahulu.

"Astaghfirullah!" Aku hampir lupa memesan taksi, mobilku kan sedang dalam perbaikan. Entahlah karena apa, mungkin juga karena itu mobil lama milik Papah yang akhirnya aku yang gunakan. Alasannya karena merindukan orang tuaku, jadi tidak perlu membeli mobil sendiri. Aku merasakan kehangatan mereka saat berkendara.

"Bu Dokter! Saya antar," tawar Ali. Baiklah tidak ada alasan untuk menolak, nyawa pasien lebih penting.

"Rumah Sakit mana? Kasih Bunda?" tanya Ali saat aku masuk mobilnya. Aku mengangguk. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan, waktu yang kami tempuh juga kurang dari tiga puluh menit.

"Terima kasih," ucapku sambil membuka pintu.

"Kutunggu!"

"Tidak perlu, takutnya akan lama."

Tanpa menghiraukan protesnya lagi, segera kuberlari dan disambut oleh perawat yang menghubungi.

"Dok, gejala awal pasien ...." Kudengar penjelasan perawat sembari mengenakan pakaian dinas seorang dokter.

{PoV Ali}

Larangan dokter cantik itu tidak kuindahkan. Sebaliknya, aku malah ikut masuk gedung rumah sakit itu. Kulihat gadis yang kelaparan tadi di pesta, berubah drastis saat mengenakan jas kebanggaan dokter. Terlihat anggun dan berwibawa.

"Tuan Ali?" panggil seorang yang kukenal.

"Loh, Pak Heru sedang apa di sini? Siapa yang sakit?"

Pak Heru adalah tetanggaku, beliau sering membantu merawat kebun kecil di rumah. Beliau sebenarnya bukan pekerja di rumahku. Namun, dua bulan yang lalu datang ke rumah meminta bantuan untuk kupinjami uang karena anaknya sedang sakit. Setelah kupinjami, beliau mengatakan akan segera menggantinya. Kukatakan tidak perlu, tetapi sebaliknya Pak Heru mengusulkan diri untuk merawat kebun kecilku sebagai gantinya. Apa yang harus kulakukan, menolaknya tidak mungkin karena ingin menjaga perasaannya.

Tentu saja, tiap bulan kuberikan gaji. Sudah kuikhlaskan uang untuk membantunya, terlebih lagi pekerjaannya hanya tukang ojek yang penghasilannya tidak menentu dengan anak empat. Kupikir dari situlah aku bisa membantunya, jadi dua kali seminggu beliau akan libur jadi tukang ojek dan jadi tukang kebun di rumahku.

"Jadi, tadi itu Aldo?" tanyaku yang dijawab dengan anggukan lemah.

"Aldo, dia sesak napas dan demamnya tinggi." Laki-laki paruh baya itu menangis. Kutenangkan dan mengajaknya duduk.

Tidak sampai tiga puluh menit, seorang perawat keluar dari ruangan Aldo diperiksa datang menemui kami.
"Bapak, silahkan ke ruangan Dokter Fatimah untuk penjelasan tentang kondisi pasien Aldo."

"Anak saya tidak apa-apa kan, Suster?"

"Ayo Pak, kita temui dokternya dulu." ajakku, tidak tega membiarkan Pak Heru mengurus ini sendiri. Lagipula, aku juga penasaran dengan gadis yang tadi kelaparan saat menjadi dokter.

Kami dituntun oleh Suster menuju ruangan yang tertulis di pintu, dr. Fatimah Az-Zahra, M.Sc, Sp.A dan aku diizinkan ikut masuk setelah dijelaskan.
"Maaf dok, ada wali dari pasein Aldo." Setelah itu, suster mempersilahkan kami masuk.

"Assalamu'alaikum," sapaku.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawabnya dan kulihat ia terkejut melihatku.

"Saya tetangga dan juga wali dari Aldo, dokter." Dokter Fatimah mengangguk dan mempersilahkan kami duduk.

"Sebelumnya bapak jangan panik ... Alhamdulillah Aldo segera dibawa ke rumah sakit, jadi bisa segera kita tangani dan infeksinya tidak menyebar ...." Hari ini baru kulihat secara langsung dokter muda nan cantik menjelaskan dengan sangat lugas. Lihat saja tatapannya, sungguh meneduhkan.

"Jadi, anak saya ... Aldo akan baik-baik saja kan, dokter?" Pak Heru semakin menangis.

"Tubercolosis akan berbahaya jika tidak segera ditangani, beruntung Aldo segera dibawa ke rumah sakit ... jadi, bapak jangan terlalu khawatir kami akan lakukan yang terbaik."

Aku ikut menenangkan Pak Heru dengan menepuk punggungnya pelan untuk menyemangati.

"Suster, tolong berkas ini dikirim ke bagian penyakit dalam." Mendengar penyakit dalam, sontak teringat bunda yang ada di panti.

***

Aku adalah anak panti. Bunda adalah wanita yang tulus merawat kami sejak aku dan adikku ditemukan. Kisahnya panjang, jika mengingat hal itu maka luka yang belum mengering hingga sekarang akan semakin menganga, bahkan akan semakin parah. Singkatnya, waktu itu aku berusia tujuh tahun dan adikku empat tahun. Setelah kecelakaan itu, tanggung jawab sudah membuatku tumbuh menjadi laki-laki dewasa sebelum waktunya. Terlebih lagi akulah pelindung adikku satu-satunya, Sofiyah.

Kami harus kehilangan Abi dan Ummi saat usia masih terlalu muda karena tragedi itu. Aku ingat Abi berpesan untuk menjaga Sofiyah dan menjadi pengganti Abi dan Ummi. Itulah takdir kami, takdirku kehilangan adik tersayang. Mungkinkah Sofiyah sadar telah kehilangan kakak yang, ekhm ... kurasa tampan. Kemungkinan tidak, usianya sewaktu hilang masih terlalu kecil.

........

Pernikahan TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang