Patah Setelah Berjuang

664 100 0
                                    

Lucu sekali bukan.
“Kau sangat mencintainya?”
“Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan seberapa besar aku mencintainya. Aku sangat mencintainya.” Nara mempercepat laju motor yang ia pinjam dari Fasya.







Sebuah tepukan di pundaknya menyadarkan Nara dari lamunan membayangkan bagaimana bentuk kekasih Chenle hingga membuat sang idol tergila-gila. Sungguh membayangkannya saja sudah membuat mood-nya sangat buruk siang ini. Kepala Nara menoleh ke samping melihat sang sahabat kini yang kini menatapnya.
“Kenapa?” Nara mengernyitkan dahinya bingung.



“Lo kesurupan materi administrasi Pak Toni, perasaan daritadi melamun terus?” Tangan perempuan berambut panjang se-pinggang itu menyentuh berkali-kali dahi Nara sambil melafalkan ayat-ayat Al-Quran. Segala macam surat ia baca hingga membuat pemilik dahi mendengus sebal.
“Gara-gara si playboy itu lagi?” Nara menggelengkan kepalanya lemah.



“Lo punya gebetan baru?” Perempuan di samping Nara menaikkan nada suaranya satu oktaf yang membuat beberapa pasang mata menatapnya. Bagaimana tidak, kini mereka sedang berada di kantin fakultas dan tepat jam makan siang. Nara memutar bola matanya malas.
“Kecilin suara lu. Nggak malu apa itu dilihat banyak orang.” Sahabat Nara hanya mengedikkan bahunya tak acuh. Nara menyibukkan diri dengan mengaduk es teh yang berada di depannya sambil sesekali mengecek jam di dinding kantin.



“Lo punya masalah apa sih?” Tingkat penasaran yang tinggi, harus saat itu juga jika membutuhkan penjelasan, dan tidak peka dengan tatapan di sekitarnya akan kecantikan yang ia miliki. Cocok sekali untuk didefinisikan kepada perempuan bernama Allen. Sosok yang kini mengambil gorengan dari meja sebelah dan dengan santainya meletakkan satu sendok penuh sambal dari mangkuk hijau di depannya ke atas tempe tepung yang digoreng barusan oleh ibu kantin.



“Lo tau Chenle, kan?”tanya Nara yang membuat Allen menjentikkan jarinya setelah itu mengangguk.
“Pacar halu lo itu kan, manusia yang nggak tahu lo hidup atau nggak. Manusia yang selalu lo rebutin dengan Sera, manusia yang sudah seperti cat di dinding kamar lo, dan manusia yang sudah meracuni otak lo dari segala macam bidang kehaluan. Emang lo kebanyakan halu, tapi gue juga. Soalnya halu enak.” Tangan kanan Nara sudah mendarat di kepala sang sahabat yang membuat pemilik kepala mengiris pelan.



“Ngomong pelan-pelan, gue nggak mau nambah minum karena minum lo udah habis duluan.” Nara melihat sebal Allen yang sudah menghabiskan es tehnya setengah gelas.
“Tadi lo mau ngomong apa tentang si Chonlo?” Allen menghapus bekas minyak di tangannya menggunakan tisu.
“Chenle punya pacar.”



“Kok tumben nggak lo lanjutin?” Kerutan di dahi Nara bertambah karena ucapan Allen yang kini menatapnya bingung.
“Lanjutin apa?”
“Chenle punya pacar. Dan pacarnya itu gue. Biasanya kan gitu.” Nara menghembuskan nafasnya pelan.
“Dia beneran udah punya pacar.” Allen menghentikan pergerakan tangan Nara yang akan membawa es tehnya untuk menghilangkan kekeringan di tenggorokannya. Tangan Allen membawa segelas es teh itu kembali menempel pada meja di depannya.



“Ini yang menyebabkan lo nggak berantem sama Sera hari ini?” Lagi-lagi Nara harus bisa mengendalikan emosi di depan sahabatnya itu sebelum dirinya memukul lengan kiri manusia di sampingnya.
“Tapi sejauh penglihatan gue, si Sera biasa aja nggak seperti lo yang lemah, letih, lesu, dan tak bernyawa.” Emang mulut Allen harus disekolahkan terlebih dahulu untuk sekedar mengucapkan setiap kalimat yang keluar. 



“Iya kan, kare—” Ucapan Nara terpotong saat melihat bapak pemilik kantin memberikan dua mangkok bakso kesukaan Nara di depannya. Asap masih mengepul, lima bola-bola gilingan daging, sawi hijau yang nampak melambai, dan pangsit berisikan kulit ayam yang membuat pikiran Nara kini teralihkan dengan campuran berbagai macam bentuk makanan itu. Tangannya segera menyendokkan makanan itu ke dalam mulutnya setelah membaca doa.



Langkah Sebuah Takdir (Zhong Chenle)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang