Ranjun

16 3 0
                                    

Anak laki-laki itu meringis, menatap hidupnya yang begitu suram. Ia sendiri. Lagi. Semua yang menyayanginya, semua yang ia sayangi, telah pergi satu-persatu. Meninggalkannya sendirian di dunia yang begitu kejam.

Kisahnya yang terlalu rumit, hingga ia merasa aneh jika kisahnya terlihat begitu mulus.

Sekarang anak itu duduk di sebuah pemakaman, diantara 2 makam yang bersebelahan. 2 makam yang sangat berarti baginya.

Cuaca begitu cerah, sangat indah untuk menikmati pemandangan seperti menertawakan nasibnya yang begitu sial.

"Kak Vusha, jangan sampai melupakan Paman Tonio kalau sudah berkepala 5 oke, jangan menyebutnya kepala 4 terus!"

Kedua makam itu berdekatan, makam Vusha yang sudah berusia 4½ bulan itu terlihat sedikit kusam. Berbeda dengan milik Tonio yang masih benar-benar baru.

"Kemarin, sebelum Paman pergi dia pernah berkata padaku untuk tetap hidup. Tapi, kenapa kalian meninggalkanku? Kenapa kalian tidak ada yang ingin bertahan untuk bersamaku? Kalian yang menyuruh hidup tapi tak pernah sekalipun ingin tetap bertahan hidup bukan?"

Ranjun ingin menangis. Tapi ia tak bisa mengeluarkan air matanya. Sulit baginya, dadanya sesak, tapi air matanya tak kunjung mengalir. Ini menyakitkan.

"Kak Dio, Kak Vusha, sekarang Paman. Apakah kalian tidak tahu betapa aku merasa ketakutan? Kenapa takdir mengambil kalian dulu?"

Ranjun berhasil, air matanya lolos. Ia kesepian, ia takut, sebelum virus itu, hidupnya begitu indah.

"Jika kalian bertemu Kak Dio, tolong bilang, bahwa aku menyayanginya. Sampaikan maaf ku jika aku tidak bisa membuatkan tempat yang nyaman untuknya beristirahat"

Ranjun berdiri. Menatap kedua makam itu dengan sayu. Sekeji itukah hidupnya? Se-sayang itukah mereka bertiga sampai meninggalkannya sendiri?

Dio yang mati terbunuh untuk mencari bahan makanan untuk mereka hidup, tertembak oleh para kanibal yang berusaha membunuh Vusha dan Dio sendiri.

Vusha yang mati karena tak sanggup membawa dosa yang berat. Tak ingin membunuh manusia lagi. Hanya untuk menyelamatkan Ranjun dan Tonio dari sifat aslinya.

Tonio, pria itu mati karena terbebani pikiran tentang Vusha. Pria itu merasa tak dapat menyelamatkan seseorang untuk kedua kalinya. Ia stres. Makan pun jarang. Sakit, dan akhirnya ia beristirahat karena penyakitnya.

"Walaupun Paman sudah akan kekal disana, Paman gaboleh lupa makan. Gaboleh sampai sakit oke. Nanti Ranjun marah kalau sampai Ranjun datang Paman sakit!"

Anak itu melangkah pergi dari pemakaman. Bekerja, ia harus bekerja. Tapi sungguh dalam hati yang amat dalam, ia menginginkan sekolah.

Pemerintah juga memberikan fasilitas sekolah gratis untuk anak jalanan. Tapi, karena virus tersebut sekolah gratis itu masih belum dibuka kembali untuk mengajar anak-anak seperti dirinya.

Lagi-lagi Ranjun merutuki dirinya sendiri yang begitu sial. Bodohnya dia yang dulu tidak mau menaati perintah Dio untuk mengikuti sekolah gratis itu. Dio juga sudah memintanya untuk bersekolah disekolah umum, biaya biar Dio yang tanggung. Tapi, Ranjun juga menolak jika berhubungan dengan sekolah. Anak itu benar-benar menyesal.

Ranjun berjalan, menuju rumah Tonio. Tonio Yang menyuruhnya untuk tinggal disana, daripada apartemen tua nan sepi.

Setelah kematian Dio, datanglah Vusha yang membawa kabar duka padanya, gadis itu bersedia merawat Dio untuk menghapus dosanya. Namun, apa daya pengecut seperti Vusha yang mati dengan bunuh diri, tidak dapat melawan dirinya sendiri, tak dapat mengucapkan kata maaf dan bertanggung jawab.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

4 |RanjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang