NONE 7

18 1 0
                                    

Reynand POV

Aku bangun ketika merasakan air dingin yang mengguyur wajahku. Maura dengan ember kecil berdiri di depanku. Ia tertawa lepas begitu aku bangun. Air yang dibawa Maura ternyata bukan air biasa, ia mencampurnya dengan es batu, dasar anak itu! Kepalaku benar - benar pusing. Entah berapa gelas alkohol yang aku minum semalam. Aku tidak ingat apa yang aku lakukan semalam, tidak juga dengan siapa yang mengantarku ke rumah.

Belum sempat aku bangun. Mama sudah ada di kamar, Ia menatapku geram sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Aku tahu pasti ia akan segera mengomel, Jadi aku cepat - cepat bangun dan berlari menuju kamar mandi.

Aku turun karena lapar. Ternyata aku sudah melewatkan makan siang dan parahnya tak satupun orang rumah membangunkanku. Guyuran air hangat tadi cukup meringankan nyeri di kepalaku. Aku menyuruh pembantu di rumahku membuatkan sesuatu untuk ku makan sementara aku menonton di ruang keluarga.
"Pergi menonton di kamarmu sana!" Maura berusaha merebut remote di tanganku. Ia terlihat kesal karena aku tiba - tiba memindahkan kartun kesukaannya.

"Mom! Reynand menggangguku!"

"Dasar pengadu!" aku memberikan remote itu kepadanya. Ia hanya membalas dengan juluran lidah
.
"Reynand! Mau sampai kapan kamu mabuk - mabukan seperti ini sih! Setiap minggu pasti aja ada ulahnya!" Mama datang dengan majalah ditangannya lalu duduk disamping Maura.

"Namanya juga anak muda," jawabku santai.

"Papa saja tidak seperti kamu dulu! Cepat hentikan kebiasaan burukmu itu. Seorang calon pemimpin tidak boleh memiliki kebiasaan seperti itu," aku tahu pasti ujung - ujungnya kesana.

Persetan, kataku dalam hati. Aku cuma mau bersenang - senang di usia mudaku ini. Paling tidak sebelum mereka benar - benar menjerumuskanku ke dunia bisnis yang sebenarnya tak aku minati sama sekali.

Beruntung sebelum mama sempat melanjutkan omelannya kepadaku, pembantu itu memberi tahu kalau makanannya sudah jadi. Aku bergegas kembali ke ruang makan sementara aku yakin mama pasti masih menggerutu sendirian. Selesai makan, aku bergabung lagi dengan Maura dan mama di ruang keluarga. Apa lagi kalau bukan mengerjai Maura.

"Ini coba kau pelajari," Papa datang dan memberikan map berisi beberapa dokumen kepadaku.

"Ya, nanti ku baca,"
Setelah puas menjahili Maura, aku kembali ke kamar dengan map yang tadi di berikan Papa. Bisnis bukan hal yang sulit bagiku, cuma saja kurang menarik. Entah apa yang membuat aku tidak terlalu menyukai bidang ini. Aku membaca dokumen itu sekilas lalu menaruhnya di meja belajar yang ada di kamarku.

Aku mengambil ponselku. Belakangan ini menjadi kebiasaanku, setelah mendapat kontak Claire aku sering mengiriminya pesan atau bahkan menelponnya. Claire hanya menjawab singkat pesanku dan jarang mengangkat telpon dariku. Dia memang sedikit berbeda dengan kebanyakan wanita, dan itu malah membuatku semakin gemas terhadapnya.

"Halo?"

"Apa kau sudah pulang?"

"Belum, ada apa?"

"Lalu kapan kau kembali?"

"Sore ini, ada apa sih? Kalau kau minta latihan, maaf aku tidak bisa,"

"Malam ini mau keluar?" ya, aku barus saja mengajaknya berkencan.

"Tidak," jawabnya cepat.

"Besok?"

"Tidak. Jangan mengajakku, percuma." benar - benar tidak mudah mendapatkannya.

"Kalau begitu besok pagi jam sembilan,"

"Terserah, aku tidak akan menemuimu kecuali saat latihan," ia lalu memutus sambungannya. Aku tertawa geli membayangkan ekspresi kesalnya setiap kali bersamaku.
Besoknya, untuk pertama kali aku bangun dibawah jam sembilan di hari minggu. Dan aku bersiap - siap pergi. Tidak peduli dengan apa yang akan aku terima nanti saat bertemu Claire.  Aku turun dan menemukan Maura bermain sendirian, tidak ada mama atau papa. Aku sempat menanyakan kemana mereka pergi, ternyata mereka berdua pergi dengan kolega papa. Yang jadi pertanyaanku, kenapa Maura tidak diajak?

"Kenapa kau tidak ikut?" tanyaku pada Maura.

"Tidak asik disana. Kau mau kemana,Brou?" tanyanya sambil merapikan mainan barbienya.

"Main,"

"Boleh aku ikut? Ayolah," aku sebenarnya tidak mau mengajak anak ini. Tapi ekspresinya saat ini benar - benar mengenaskan jadi aku ajak dia menemui Claire. Ia duduk di kursi sebelahku, tak hentinya ia bersenandung sepanjang jalan.
Ia tidak bertanya mau dibawa kemana. Kelihatannya, ia tidak peduli juga, yang penting jalan - jalan. Sampai di depan flat Claire aku menyuruhnya turun dan mengikutiku di belakang. Ia menurut dan aku menggandeng tangannya. Aku memencet bel beberapa kali, hingga Claire keluar. Ia kelihatan rapi dan wangi seperti biasa.

"Reynand, aku kan sudah bilang ak- ..Ya Tuhan lucu sekali," ia menatap Maura gemas. Ya, Maura memang paling pintar cari muka.

"Halo, aku Maura,"

"Dia adikku," Claire menatapku tidak percaya.

"Hai Maura, aku Claire. Mau masuk dulu sebentar?" sikap Claire benar - benar berubah terhadap Maura. Maura mengangguk. Well, thanks to Maura ia membuka jalan untukku. Aku baru akan melangkahkan kaki untuk masuk, Claire tiba - tiba mencegahku.

"Mau apa kau? Aku cuma mengajak Maura," katanya.

"Apa? Aku tidak peduli," aku masuk saja kedalam sementara Claire masih menatapku kesal disana.

Maura kelihatan senang di dalam flat Claire. Disana banyak barang - barang lucu yang menarik perhatiannya. Ia tiba - tiba menjadi sangat baik dan menggemaskan kepada Claire, dan Claire kelihatannya sangat gemas kepada Maura. Mereka bercanda tanpa menghiraukan aku.

"Claire, kenapa kau tidak bersiap - siap? Kita kan mau berangkat," kataku.

"Berangkat kemana?"

"Benarkah? Claire ayo segera bersiap. Aku juga mau ikut sama kalian," Maura mendesak Claire. Aku tahu Claire ingin menolak, tapi setelah melihat Maura, sama sepertiku ia juga luluh. Akhirnya Claire dan Maura masuk ke kamar Claire sementara aku menunggu sendirian di ruang tengah.

NONE | On HoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang