Claire POV
Aku merasa agak menyesal menerima tawaran main drama itu. Gara - gara latihan, aku harus sering izin pada Mia dan tidak masuk kerja tepat waktu. Aku merasa tidak enak padanya, setiap kali aku datang ke kafe dia pasti sedang kewalahan melayani pelanggan. Meski memang tidak setiap hari aku terlambat tapi tetap saja, apalagi ia sudah mengurangi jam kerjaku.
"Aku benar-benar minta maaf Mi, haruskah aku mundur saja biar bisa datang tepat waktu?" kami kini sedang duduk di belakang kasir, tidak ada pelanggan yang datang atau memanggil kami.
"Tidak, apa yang kau lakukan. Aku tidak masalah kau datang terlambat, lanjutkan saja latihanmu itu, tapi undang aku sebagai gantinya,"
"Tentu saja kau akan ku undang," wajah Mia terlihat senang.
"Oh ya, hari ini kita tutup lebih awal ya? Aku mau ke rumah orang tua ku," aku mengangguk mengiyakan. "Dan kau harus ikut,"
Aku tak begitu terkejut mendengarnya. Mia sudah beberapa kali mengajakku ke rumah orang tuanya di Cambridge, kami sudah sangat dekat. Mereka bahkan bilang kalau mereka menganggapku seperti anak mereka sendiri. Aku pikir tidak buruk juga hari ini ke sana, besok hari Sabtu dan sekolah libur. Aku tahu pasti Mia mengajakku untuk menginap disana.
"Baiklah, aku pulang dulu ambil baju ya?"
Mia mengangguk. Setelah dua jam, kami menutup kafe dan segera beres - beres. Mia mengantarku pulang dulu untuk sekalian berangkat ke Cambrigde. Tak butuh waktu lama untuk menyiapkan baju, aku hanya perlu dua stel baju untuk dipakai malam ini dan besok pagi. Kami akan menginap sampai besok sore saja karena malam minggu kafe harus tetap buka.
Hanya butuh satu jam untuk sampai di rumah orang tua Mia. Dan selama satu jam perjalanan itu kami habiskan mengobrol dan menceritakan cerita kami masing - masing. Mia bilang ia ingin membuka cabang baru di daerah dekat kampus kedokteran Harvard. Ia bilang ingin menjadikanku manajer di sana.
Aku menolak dengan halus tawaran Mia itu, bukan apa - apa, aku hanya khawatir tidak bisa bertanggung jawab nantinya. Apalagi aku tak punya pengalaman apa - apa sebagai manajer atau semacamnya, meski melihat Mia setiap hari bekerja mungkin sedikit banyak berpengaruh untukku. Aku juga masih ingin kuliah, jadi aku bilang padanya kalau aku ingin tetap menjadi pekerja paruh waktu saja.Setelah mendengar alasanku, Mia akhirnya setuju dan tetap membiarkanku menjadi pegawai paruh waktu. Ia akan menambah jumlah pegawai sebanyak dua orang lagi, satu untuk menemaniku di kafe lama dan satu lagi di kafe yang baru. Ia meminta padaku untuk sementara mengajarkan apa saja yang aku ketahui kepada karyawan baru nantinya. Aku tidak keberatan dengan itu.
Tak terasa, kami sudah sampai. Aku segera turun begitu Mia memarkir mobilnya dengan mulus. Aku melihat Eduardo sedang menyirami tanaman bonsai kesayangannya. Ia segera mendekat dan memelukku hangat. Tak lama Liliana keluar dan melakukan hal yang sama kepadaku.
"Kenapa kau jarang ikut Mia kesini?" tanya Liliana begitu kami masuk dan duduk di ruang keluarga.
"Waktu itu aku sedang ujian, belakangan aku agak sibuk karena sudah kelas tiga," ucapku sedikit menyesal.
Aku tidak bohong. Aku benar - benar tidak bisa ikut Mia setiap kali ia mengajakku mengunjungi Liliana. Jujur, aku juga rindu Liliana dan Eduardo. Mereka selalu menyambutku dengan hangat setiap kali kami bertemu.
Malam itu, kami mengadakan pesta barbeque kecil - kecilan di halaman rumah. Eduardo rupanya sudah menyiapkan semuanya. Aku sangat menikmati malam itu, kami bercanda, bernyanyi dan bercerita. Aku merasa punya keluarga jika seperti ini.
"Claire, minggu depan kan Natal. Kamu mau ikut kami liburan ke Atlanta mengujungi grandma?" ajak Liliana.
Aku berfikir sejenak. Sebenarnya aku mau ikut, tapi minggu depan tepat sekali dengan acara amal itu, dan aku tidak bisa tidak hadir. Maka aku menolak ajakan mereka. Tapi tunggu dulu, berarti Mia akan pergi juga? Ia tidak akan menonton dramaku?
"Yah, sayangnya begitu. Tapi itu pasti di upload di channel youtube sekolahmu kan? Aku akan menontonnya," aku sangat menyesalkan itu. Padahal aku mengharapkan Mia datang.
Jam sebelas malam kami benar - benar selesai. Setelah membersihkan diri, aku merebahkan diri di samping Mia yang pasti sedang sibuk untuk persiapan pembukaan cabangnya. Ia sudah bilang kepada kedua orang tuanya tadi, dan mereka setuju, bahkan mendukung. Rencananya, cabang itu akan dibuka dalam dua bulan.
Aku sedikit terkejut ketika melihat ada banyak sekali panggilan tak terjawab di ponselku. Itu semua dari Reynand. Kalau dilihat dari waktu pertama kali ia menelpon, ia menelponku dari jam delapan malam tadi. Maklum saja aku tak mengangkatnya karena dari tadi ponselku ku tinggal di kamar.
Aku pikir mungkin ada hal penting hingga Reynand menelponku sampai dua puluh enam kali, jadi kuputuskan untuk menelponnya kembali. Mia sempat bertanya aku menelpon siapa, dan ia segera mengerti begitu aku menjawab. Mia sudah tau apa yang terjadi belakangan kepadaku. Terdengar bunyi sambungan telepon beberapa kali hingga akhirnya Reynand mengangkatnya."Reynand?"
"Claire! Kau dimana? Aku kerumahmu tapi kau tidak ada disana," aku bisa mendengar suara hingar - bingar di sebrang sana, pasti dia sedang di club.
"Ada apa memangnya? Bukannya sudah kubilang tidak ada latihan malam ini?"
"Memang tidak. Tapi kau dimana?"
"Bukan urusanmu, kalau tidak ada hal penting kututup telponnya,"
"Tunggu! Aku merindukanmu,"
"Kau pasti mabuk, lebih baik kau pulang dari tempat itu. Sudah kututup dulu," lalu aku menutup sambungan secara sepihak. Aku yakin Reynand pasti mabuk, apa yang dia bicarakan? Merindukanku? Baru saja siang tadi kami bertemu, masa sudah rindu?
Haii! It's been a year since last time I update this story.
I'm sooo sorry, I've forgot my password account so I didn't open wp for a longg time.
Btw, thanks for reading my story. Love you all!
KAMU SEDANG MEMBACA
NONE | On Hold
أدب المراهقينIt's a story. - Claire Miranda Wattson - Reynand Jasonelic Greyson *) Read if you curious and interested Copyright©2017_by_LalisaHadid