3. Ukuran Hati

1.3K 147 4
                                    


---

Lilyara melangkah dari halaman belakang sembari membawa ember yang masih berair, sisa dari pakaian yang baru saja ia jemur. Ketika hendak melangkah masuk ke dalam rumah, dua pria dewasa muncul di hadapannya—Kafa dan Sekretarisnya. Langkahnya tertahan sejenak, melihat ekspresi Kafa yang tampak heran, seolah ingin bertanya mengapa ia membawa ember. Berbeda dengan Rey yang terkikik sendiri setelah menyadari ember itu terlihat begitu besar dalam pelukan si kecil Lilyara.

Sebelum Kafa sempat membuka mulut, seorang  wanita gempal tiba-tiba muncul dari samping rumah dan langsung menyapa, "Loh, Mas Kafa sama Mas Rey, kapan datang?" Dengan gerakan yang begitu alami, wanita bernama Ani itu mengambil alih ember dari tangan Lilyara dan pamit buru-buru, berjalan ke arah samping menuju halaman depan. Rey sempat memperhatikan wanita yang bekerja untuk Kafa itu dengan pandangan heran, sementara Kafa tetap tak bergeming—perhatiannya kembali ke Bocah lugu yang yang tingginya bahkan belum sampai pinggangnya itu. Ia berdiri terpaku di hadapannya.

"Ayo pergi sama saya. Raka mana?" tanyanya tiba-tiba, membuat alis Lilyara mengernyit, tak sepenuhnya mengerti maksudnya.

Sebelum sempat menjawab, Raka muncul dari lantai dua rumah itu, berlari menuruni anak tangga dengan wajah penuh antusias, "Mau ajak kita jalan-jalan ya, Kak?"

Begitu sampai di bawah, sang kakak memberikan teguran halus, tapi, seperti biasa, Raka hanya membalasnya dengan cengiran khasnya. Raka memang berbeda sekali dengan Lilyara. Bocah yang hanya terpaut setahun darinya itu memiliki kepribadian ceria dan sedikit bandel, layaknya anak laki-laki seusianya. Tak pernah ada ragu dalam dirinya untuk menyuarakan isi hati, bahkan untuk hal-hal kecil.

Kafa tersenyum ringan. "Sebentar lagi kalian masuk sekolah, jadi harus punya seragam baru."

Raka langsung menatap kakaknya, tersenyum lebar, namun senyum itu menipis ketika tak sengaja melihat rambut Lilyara yang agak berantakan. Ingatannya pun melayang pada kejadian beberapa jam lalu.

"Kak," bocah itu berbisik mengadu, "tadi malem Kak Lily mau botakin rambutnya biar kayak Bunda. Bunda sudah larang, tapi dia pasti bakal tetep potong rambut diam-diam."

Lilyara yang mendengar bisikan keras itu benar-benar tak habis pikir. Betapa cerewet adiknya itu. Penting atau tidak, Raka selalu melaporkan apapun pada Kafa. Karena ucapan adiknya, kini kedua pria dewasa itu menatapnya dengan raut prihatin.

Kafa melangkah maju, berjongkok di hadapan si adik kecil, tangannya terulur lembut menyentuh bahu ramping Lilyara. Satu tangan lagi merapikan rambut pendek anak itu yang kini sudah sedikit memanjang. Dulu, saat mereka pertama bertemu, rambut Lilyara lebih pendek dari Raka. Pria itu bukannya tak tahu alasan rambut bocah muram itu bisa sependek itu.

“Aku cuma mau nemenin Bunda,” ucap Lilyara lirih, tanpa berani menatap langsung mata pria tinggi itu.

“Saya paham kok. Tapi kerontokan itu wajar untuk penderita kanker yang menjalani kemoterapi,” jelasnya

"Iya, Ly, nanti juga bisa tumbuh lagi," Rey ikut menimpali sembari mengangguk.

Kafa tersenyum tipis ketika melihat mata sayu bocah mungil itu tampak sedikit melebar. “Kali ini Rey nggak bohong. Rambut Bunda kamu pasti tumbuh lagi, jangan khawatir.”

“Mohon maaf, ini mah, Pak, agak terselip fitnah ya dari omongan Bapak,” gerutu Rey.

“Kamu bilang nenek kamu meninggal, tapi istri kamu bilang kamu mau mancing,” balas Kafa tanpa basa-basi.

Mentari untuk Sang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang