----Lilyara terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya. Kamar tempatnya tertidur bersama sang ibunda dan adiknya tampak gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang menyelinap lewat tirai jendela. Manik sayu itu memandang ke celah tirai yang menunjukkan halaman belakang rumah, tempat yang selalu ia tuju tiap kali terbangun di tengah malam. Ia menahan napas, mencoba meredam gemuruh di dadanya.
Anak yang tampak ringkih itu bangkit perlahan, memastikan pergerakannya tak menimbulkan suara, lalu berjalan keluar. Langkahnya yang pelan membawanya ke halaman belakang. Hujan sore tadi masih meninggalkan aroma basah pada tanah. Udara malam yang begitu dingin menyentuh kulitnya, namun itu lebih baik daripada ketakutan yang masih menggema di dadanya.
Sebuah bangku kayu menjadi saksi bisu atas luka-lukanya. Lilyara duduk, memeluk lututnya, dengan tatapan yang langsung terarah ke langit. Sebuah hamparan hitam yang tak menawarkan apa-apa selain kehampaan. Namun, dengan menatap langit, entah mengapa ia merasa lebih mampu menguasai dirinya.
Tubuh mungilnya menggigil kala angin lembut menyentuh pipinya. Dalam hati ia berharap angin dingin itu dapat mengeringkan air di pelupuk mata. Lilyara tak ingin air mata membasahi pipi tirusnya, bahkan di sini, di mana tidak ada yang melihat. Tak ada gunanya memamerkan air mata. Kesedihannya hanya akan menjadi beban untuk orang-orang yang ia sayangi, memperburuk kondisi sang ibu dan menyusahkan pria itu. Keresahannya adalah rahasia, sesuatu yang tak perlu diketahui oleh siapa pun, bahkan oleh dirinya sendiri.
Bocah itu menarik napas panjang, dingin udara malam semakin menusuk hingga ke tulang. Ia memeluk dirinya sendiri semakin erat, menunggu pagi yang membawa cahaya untuk melupakan sesak di hatinya sekali lagi.
◆◇◆◇◆◇◆◇
Pria tinggi dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku itu melangkah masuk ke dalam rumah dengan pelan, netra tegasnya menangkap pemandangan ruang tamu yang sunyi. Di sana, di sudut ruangan yang biasa, terlihat Lilyara tertidur begitu pulas di atas sofa. Tubuhnya meringkuk, seolah mencoba mencari kenyamanan.
Kafa mendekat sembari menerka-nerka apakah bocah itu kurang tidur hingga rona gelap di bawah matanya semakin melebar? Apalagi yang membebani kepala kecilnya itu? Tubuhnya bahkan masih sama seperti dua bulan lalu. Kafa sungguh berharap bisa melihat pipi tirus itu mengembang seperti balon. Sayang sekali harapannya masih belum terwujud. Anak perempuan itu sangat berbeda dengan sang adik yang tubuhnya sudah lebih berisi.
Pria itu mengulurkan tangan, berniat menggendong Lilyara ke tempat yang lebih nyaman. Namun, begitu kulit si bocah sedikit bersentuhan dengan jemarinya, matanya langsung terbuka. Ia tampak kebingungan sejenak sebelum buru-buru mendudukkan diri.
Aku ketiduran? Lilyara melirik jam di dinding dengan resah. Gerakan kecil itu tak luput dari perhatian Kafa.
"Jam tiga," ujar pria itu tenang.
“Kapan dateng, Kak?” tanyanya kikuk, suara parau sisa kantuk masih jelas terdengar.
"Baru aja. Tidur lagi aja, tapi di kamar. Saya mau nyapa bunda sebentar, terus pulang." jawab Kafa sembari beranjak. Gerakannya santai namun penuh wibawa.
Lilyara tak menjawab. Tanpa ia sadari, kakinya otomatis melangkah, mengekor di belakang Kafa seperti bayangan kecil yang setia.
Lilyara tersadar bahwa tak mungkin pria itu hanya datang untuk menyapa. Bukan berarti ia mengharapkan sesuatu, tetapi biasanya pria itu tak pernah datang dengan tangan kosong kecuali memang berniat untuk mengajak ia dan sang adik keluar rumah. Ingin bertanya namun ia sungkan. Pandangannya kini justru teralihkan, tertuju pada punggung tegap yang menjulang di hadapannya.
Sebelumnya, Lilyara selalu merasa takut menghadapi hari esok. Namun, ajaibnya perasaan itu lenyap begitu saja tiap kali nentranya menangkap sosok pria tinggi itu berada di sisinya. Rasanya ia tak akan pernah terluka meski ada jurang di hadapannya.
“Loh, Nak? Kapan datang?” suara lembut Bunga terdengar dari ruang tengah. Wanita paruh baya itu mencoba berdiri, hendak menyambut tamu yang begitu istimewa bagi keluarganya. Namun, Kafa dengan sigap menghentikan niatnya, menyadari Raka tengah bergelayut manja di lengan ibunya.
"Saya mau ajak Lily sama raka keluar, tapi sepertinya lain kali aja." Kafa melirik sekilas ke arah Lilyara, yang segera menunduk, tak ingin ketahuan tengah memperhatikannya.
Bunga menggeleng pelan, tatapannya penuh kasih. “Nggak perlu selalu ajak mereka jalan-jalan, Nak. Saya nggak enak. Kamu pasti sibuk. Sekarang aja kamu kelihatan lelah sekali.”
Ucapan itu membuat Lilyara kembali menatap pria dengan lesung pipi itu. Mata tegasnya tampak lelah, dasinya kendur, kemeja putihnya kusut, dan lengan bajunya terlipat hingga siku. Pria itu jelas kelelahan, namun tetap saja menyempatkan diri mengunjungi mereka.
Namun ada sesuatu yang membuat Bocah mungil itu terpaku sesaat. Sebuah detail kecil yang baru pertama kali ia lihat—kacamata berbingkai tipis berwarna keemasan yang bertengger di atas hidung bangir Kafa. Mata tegas nan cantik yang selalu ia kagumi itu rupanya membutuhkan bantuan lensa. Tetap saja, bagi Lilyara, Kafa tampak sempurna. Malah pria itu terlihat lebih rupawan dengan kaca mata seperti itu.
“Justru dengan ngajak mereka jalan-jalan, setres saya jadi hilang. Jadi nggak masalah,” ujar Kafa ringan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia selalu hati-hati memilih kata saat berbicara dengan Bunga atau Lilyara, sadar betul kepekaan mereka terhadap perhatian kecil.
Pengakuan itu membuat Lilyara kembali menatapnya. Ia selalu berpikir bahwa Kafa memaksakan diri selama ini, tetapi rupanya pria itu punya cara sendiri untuk menghalau lelah di tengah kesibukannya. Meski, anehnya, caranya justru melibatkan kegiatan yang juga melelahkan. Namun, jika itu benar-benar membantu Kafa, Lilyara tak akan lagi berusaha menolak ajakan pria itu ke depannya.
“Kenapa nggak jadi pergi?” cicit bocah itu pelan, lalu mengalihkan pandangannya pada sang adik. “Ayo, temenin Kak Kafa, Dek.”
Bocah laki-laki itu menggeleng cepat, tangannya tetap menggenggam lengan Bunga. “Aku mau sama Bunda.”
Tumben? Lilyara mengerutkan dahi. Ah, Raka memang kadang manja. “Ayo, Dek. Kak Kafa udah terlanjur dateng, lho.”
“Jangan dipaksa kalau nggak mau,” sahut Kafa. Netranya memperhatikan Lilyara yang tampak masih setengah mengantuk. “Kamu juga masih ngantuk. Istirahat aja di kamar.”
Kak Kafa tahu aku capek, makanya enggak jadi ajak pergi, ya? Masa iya? Lilyara membatin, matanya tak sengaja menangkap raut heran di wajah Kafa, mungkin karena jarang sekali ia mengajak lebih dulu.
“Udah mau sore, Nak. Nggak bagus buat tidur. Kalau Lily mau, nggak apa-apa pergi aja. Bunda biar di rumah sama Raka,” ujar Bunga, suaranya lembut, tawa kecil mengiringi ucapan terakhirnya. “Ini anak manja lagi ngalem sama Bundanya"
-
-
-
-
Lady Sirèlis
2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari untuk Sang Malam
Lãng mạnJudul sebelumnya; • My story with the savior of my life • My Little Sister • Saviors • My Savior, My Angel Apakah salah jika aku memiliki perasaan pada sosok penolong keluarga ku? Apakah salah jika aku ingin lebih dari sekedar bocah malang yang ia...