Satu bulan terlah berlalu, Hinata tinggal di kediaman Uzumaki. Semenjak ia berada di rumah mewah itu, banyak sekali yang berubah. Ibu membuatkan satu set meja dan kursi untuk minum teh di sore hari, mengingat beliau yang begitu menyayangi menantunya itu.
"Kau terlihat jauh lebih baik, aku merasa senang melihatmu yang seperti ini." pria itu meletakkan cangkir teh di atas meja, mengamati sekeliling mereka yang dipenuhi berbagai macam bunga.
Setiap ada waktu di jam kosong, Neji menyempatkan diri mengunjungi kediaman Uzumaki hanya untuk melihat adik. Ketika ia dan Mrs. Uzumaki bertemu, beliau sepertinya hanya bisa menerima satu Hyuuga saja di sekitarnya. Tetapi, hal itu tidak menjadi hambatan baginya untuk bertemu adik.
"Aku tidak pernah merasa sebaik ini sebelumnya kakak," gadis itu tersenyum lembut padanya, sungguh hal yang paling membuat pria itu bahagia adalah melihat senyum sang adik. "Ini semua berkat kalian yang selalu mendukungku."
"Bunga-bunga itu, apa kau yang memintanya pada Mrs. Uzumaki?" Hinata tersentak, mengamati setiap taman bunga yang tersusun rapi. Tidak jauh dari tempat mereka, terdapat rumah kaca yang dipenuhi bunga-bunga dari Eropa yang memiliki perawatan khusus.
"Aku tahu kalau kau suka bunga... saat kecil dulu, para pelayan membawamu ke taman belakang rumah. Kau meminta mereka untuk menanam bunga baru, tapi mereka tidak memenuhi keinginanmu." dan itu terjadi saat tanpa sengaja, Neji mendengar pembicaraan para pelayan dengan ayah yang sedang memberitahu keinginan Hinata. Namun ayah bersikeras menolak.
"Aku tidak meminta Mrs. Uzumaki, beliau yang melakukannya sendiri. Saat aku kembali duduk di sini, terdapat jenis bunga baru yang bertambah. Semakin sering aku duduk, bunganya semakin banyak."
Tidak apa, Mrs. Uzumaki tidak menyukai dirinya. Asalkan Hinata bisa diterima di keluarga mereka, memperlakukan dengan baik, itu sudah cukup baginya. "Sebenarnya... ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Apa kau membenci ayah?" inilah maksud kedatangan pria itu yang sesungguhnya.
Selama ia sering menyempatkan diri untuk bertemu, tidak sekali pun berpikir untuk menyinggung mengenai ayah bersama adik. Karena aku takut membuka lukamu kembali, saat ini kau baik-baik saja dan aku tidak akan sanggup lagi jika mendapati dirimu yang seperti dulu. Ya ̶ ̶ karena pria itu tidak ingin membuat luka kembali.
"Kakak," ia memejamkan matanya, terlintas di pikirannya wajah almarhum ibu yang sedang tersenyum tulus. "Aku tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua dari dulu," benar, setidaknya seperti itu yang dirasakan olehnya. "Saat itu almarhum hanya menjagaku, hanya kewajiban yang diberikan oleh para Tetua. Almarhum diberikan jadwal-jadwal khusus untuk bertemu denganku, itu terjadi setelah perdebatan ibu dengan mereka."
Benar, Neji tidak bisa menyangkal dengan hal yang satu itu ̶ ̶ mengenai almarhum ibu yang membagi waktu, karena aturan yang diberikan oleh para Tetua.
"Saat ini, aku tidak ingin mengingat apa pun yang hanya membuatku semakin menderita. Aku tidak memiliki alasan khusus untuk membenci ayah, karena ayah sepertinya tidak bisa melakukan apa-apa dan harus tunduk pada aturan. Aku ingin hidup bahagia, jadi aku berpikir untuk membuang semua masa lalu kelam itu."
Itu tidak mungkin akan mudah. Tentu Hinata tahu hal itu, cukup lama penderitaan yang sudah ia rasakan dan butuh waktu untuk menghapus semuanya. Namun, pasti ada luka yang masih meninggalkan bekas. Ia tidak bisa menyangkal karena itu benar.
"Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepada kakak?"
"Kau benar," kakak membuang tawanya, mengambil napas sebelum melanjutkan. "Aku sangat membenci ayah." tidak ada dusta yang disembunyikan di sana, terlihat jelas bagaimana wajahnya yang begitu serius mengatakan kalimat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOLCYON :The Place of Peacful [BELUM REVISI]
FanfictionPertemuan tidak sengaja dengan gadis di rumah sakit, membawa perubahan besar Uzumaki Naruto. Di sana, Hinata Hyuuga mencoba bunuh diri dan pria itu berhasil menyelamatkannya. Terlahir sebagai anak perempuan, membuat Hinata Hyuuga tidak diharapkan ke...