All Eyes on Me

330 60 13
                                    

Aku baru bangun tidur saat mendapati sosok dalam cermin memandangiku sayu. Bibir tebalnya memberengut dan hidung peseknya mengerut. Sebelah tangannya mengacak rambutnya yang awut-awutan, membuatnya makin terlihat seperti replika sarang burung. Kupandangi lekat-lekat kulit wajahnya yang kusam dan bergidik jijik mendapati bentol-bentol kecil mengerikan di atasnya.

Dia jelek banget!

Namun, perlahan kutersadar.

... itu aku.

Ternyata semalam aku cuma bermimpi jadi kembarannya Gigi Hadid.

Ternyata aku masih terperangkap di tubuh ini.

***

"Aku bosan jadi jelek." Aku menghela napas. "Betapa kasihannya mata orang-orang yang mesti melihatku tiap hari."

Seandainya pasang susuk tidak dosa dan operasi plastik tidak mahal, aku pasti sudah cantik dari jauh-jauh hari.

Wanita berjas putih itu tersenyum tipis, terlihat bosan mendengarkan keluhan yang sama. Seandainya aku bukan keponakannya, dia pasti sudah menendangku keluar dari kantornya.

"Aku mau tahu rasanya ditaksir dan jadi pusat perhatian." Kuulangi kalimat yang sudah kuucapkan ratusan kali. "Puberty hits me really hard, but in the wrong way."

"Belle."

Aih, betapa bencinya aku sama nama itu. Belle berarti "cantik" dan ironisnya aku malah tumbuh jadi kebalikannya. Namun, sejak film Annabelle booming, namaku mulai menjadi sedikit relevan. Cocok banget, kata teman-teman. Dasar asem.

"Harus percaya diri!" Tante menepuk-nepuk bahuku. "Kamu cantik kok. Kecantikan paling baik berasal dari ha—"

"Tante belum tahu, ya? Sila kelima sudah berubah jadi 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang cantik, tampan, dan kaya'."

Tante tertawa, mengekspos lekuk kecil di pipi kirinya. Aku kembali mempertanyakan pertalian darahku dengan wanita itu. Tidak hanya cantik dan elegan, otaknya juga cerdas. Belum menginjak 35 tahun, dia sudah berhasil jadi dokter spesialis kulit yang menjalankan sebuah klinik kecantikan. Sebentar lagi dia bahkan akan mengantongi gelar Doktor.

Mungkin salah satu dari kami berdua adalah anak pungut. Eh, tapi Tante dan Mama kan bagai pinang dibelah dua.

Fix, akulah yang anak pungut.

"Love yourself first, Honey."

"Aku sudah kenyang sama kata-kata motivasi." Aku merengek. "Sudah, Tan. Aku jelek. Titik. Nggak ada cowok yang tertarik."

Tante mengulurkan tangan dan mencubit pipiku cukup keras. "Wrong mindset. Nilai diri kita enggak ditentukan berdasarkan pandangan para cowok."

Aku memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan ke tujuan utamaku datang menemuinya.

"Disertasi Tante apa kabar?"

"Baik. Penelitian Tante berhasil. Tinggal sidang."

Aku bertepuk tangan sekali. "Bagus! Aku mau jadi pasien pertama!"

"No." Jawabannya meluncur secepat kilat. "Mending Tante resepkan obat kulit yang biasanya."

"Tanteee, aku jadi bisulan!" Kutunjukkan bekas-bekas bisul pecah yang ada di hidung dan jidat. "Enggak mempan!"

Aku tahu Tante mencoba menciptakan serum yang mampu memperkuat feromon. Senyawa tersebut diklaim mampu merangsang daya pikat dan itulah tepatnya yang kubutuhkan. Kalau ada solusi secara ilmiah, buat apa aku capek-capek ke dukun minta susuk.

GenFest 2020: Humor x Medical ThrillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang