Bel istirahat berbunyi nyaring. Hampir dari setengah anak kelas berlari keluar kelas dengan tujuan yang sama, yaitu kantin. Tetapi ada juga yang tetap di kelas, salah satunya Albert.
"Lo bawa ati lagi hari ini, Pis?" Albert bertanya pada teman sebangkunya yang bernama Davis yang sudah satu minggu ini terus membawa ati sebagai bekalnya.
Davis mengangguk, "Iya, Bet. Disuruh nyokap gue. Gue, 'kan anaknya cereboh, ya ... makanya nyokap gue suruh gue makan ati banyak-banyak biar gue bisa lebih hati-hati dan gak ceroboh lagi."
Albert melongo. Hububungannya apa dah? Albert bertanya dalam hati dengan bingung.
"Berarti orang yang gak punya hati harus makan ati juga gitu?" Pertanyaan Albert sukses mendapat pukulan di punggung dari Davis.
"Gak gitu konsepnya," balas Davis. "Tapi, ya ... bisa jadi juga. Entar gue tanya nyokap gue deh kalau udah pulang, ye."
Keduanya tertawa renyah karena candaan mereka sendiri. Tapi tiba-tiba Albert jadi memikirkan sesuatu.
"Pis," panggil Albert. "Lo suka makan ati, 'kan? Gue punya stok ati banyak di rumah nih. Abang gue jual. Nah, mumpung dia kagak pulang hari ini, ayo lo ke rumah gue!"
Davis tercengang, "Sejak kapan lo jualan ati? Anjir, abang lo. 'kan dokter. Kurang kaya emangnya sampai harus kerja sambilan jualan ati?"
"Begitulah. Udah entar lo ke rumah gue aja pokoknya. Pas makan malem aja, jam tujuh," balas Albert dan Davis hanya mengangguk mengiyakan.
***
Tepat jam tujuh malam, Davis sampai di rumah Albert yang tidak pernah Davis sangka ternyata sangat besar dan mewah, namun sepi. Jelas saja sepi. Albert dan kakak lelakinya hanya tinggal berdua di sini. Orang tua mereka sedang ada pekerjaan di Bali.
"Buset ... tepat waktu banget lo, Pis!" Davis terlonjak kaget begitu hendak mengetuk pintu rumah, pintu tersebut lebih dulu dibuka oleh Albert.
Tanpa menunggu balasan Davis, Albert langsung mengajak temannya itu masuk. Sekali lagi Davis dibuat tercengang dengan isi rumah Albert yang terdapat banyak barang antik.
"Lo masak sendiri, Bet? Perasaan lo kagak bisa masak," ujar Davis ketika mereka tiba di meja makan.
Albert berdecak, "Ya elah ... tinggal motong ati terus digoreng mah gue bisa, Pis. Udah ayo buruan lo cobain ati ala gue."
"Kayaknya semua ati rasanya sama dah," balas Davis.
Pada akhirnya mereka duduk bersama dengan posisi saling berhadapan. Setelah mengambil nasi, keduanya mulai menyantap makanan mereka. Sebenarnya tidak hanya ati, Albert juga membuat telur ceplok sebagai pelengkap.
"Enak juga, Bet," puji Davis.
"Ya iyalah," balas Albert. "Entar lo tanyain nyokap lo mau beli dari gue aja gak? Tapi agak mahal harganya kalau di gue."
Davis mengernyit, "Ya mana mau nyokap gue kalau mahal mah. Harusnya, ya, Bet lo jual murah ke gue. Harga temen gitu."
"Gak bisa, Pis. Ini.'kan ati manusia jadinya mahal," ujar Albert.
Uhuk!
Davis langsung terbatuk sembari menepuk-nepuk dadanya dengan harapan rasa sesak di dadanya dapat segera hilang. Lelaki itu langsung menatap Albert dengan matanya yang membelalak tak percaya.
"Kenapa, sih?" Albert bertanya heran.
"Kenapa-kenapa! Gila, ya, lo? Masa lo kasih gue makan ati manusia!? Abang lo dokter apa bukan, sih?" Davis memekik tak santai.
"Dokter lah," balas Albert. "Dia kerja jual beli organ manusia, Pis. Lagian, 'kan katanya lo pengin lebih hati-hati, ya makannya ati manusia lah! Kalau ati ayam mana ngaruh."
Davis mendadak pusing dan detik berikutnya lelaki itu pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GenFest 2020: Humor x Medical Thriller
HumorKisah ini adalah bukti bahwa tertawa bisa dilakukan dengan mudah, di masa saja, bahkan ditengah kondisi klinis yang serius. *** Pada putaran terakhir kali ini, para penulis akan menyajikan karya tulis dengan Genre Humor yang dibumbui oleh Genre Me...