one

74 12 11
                                    

Diputer dijilat di celupin, itu kalo Oreo.
Di kedipin di senyumin terus di deketin itu kalau kamu.





"Aww ..." Hanin meringis ketika merasakan sakit di kepalanya. Rambutnya yang dikucir satu tiba-tiba ditarik oleh sahabatnya.

Belum sempat menoleh, Hanin sudah disembur dengan ocehan Riri teman sebangkunya. "Dasar ! Cewek nggak tau diuntung! Udah kita jemput, nunggu lama, taunya udah di sini aja, lo."

"Gara-gara nungguin lo tuh, kita sampe dikira maling sama pak satpam." Citra ikut menyahut dengan wajah kesal.

"Hehe ... Sorry sorry. Gue lupa bilang sama kalian kalo hari ini gue piket." Hanin nyengir saja tanpa merasa bersalah. "Dan kalau mau nerusin omelannya, nanti saja ya ... gue piket dulu, sebelum disembur oleh Pak ketua." Hanin ngacir tanpa peduli tatapan bengis keduanya. Benar saja, di sana dekat kursi baris ketiga, berdiri Fajar dengan tatapan memerintah pada Hanin.

"Udah selesai ngobrolnya, Tuan Puteri?" Fajar berucap dengan geram. Hanin hanya mampu menyapu dengan kecepatan ekstra.

Setelah sepuluh menit menyapu dan menata meja guru, Hanin menghampiri kedua temannya. "Emang, Pak Satpam bilang apa ke kalian?" tanya Hanin tanpa merasa bersalah.

Riri mengibaskan tangannya. "Males cerita, mending nanti traktir kita di kantin. Karena nunggu lo kelamaan perut kita jadi lapar."

"Bilang aja cari gratisan!" Citra menoyor kepala Riri yang disambut dengan cengiran.

Bel berbunyi, seluruh siswa masuk kelas. Tanpa membiarkan siswanya bernapas lega, sang guru mata pelajaran jam pertama langsung hadir.

"Pak, nggak kepagian masuk kelasnya?" Riri mengangkat tangan yang di balas sorotan tajam dari Pak Arif.

"Pak, udah sarapan?"

"Pak, udah ke kamar mandi?"

"Pak, kopinya belum habis loh dibuatin istri Bapak tadi, kok sudah datang?"

Tanpa peduli celotehan muridnya, Pak Arif berkata dengan tegas dan tanpa bantahan. "Ujian bab tiga. Keluarkan selembar kertas dan alat tulis saja."

Meski menggerutu, toh mereka tetap menurut. Itulah hak istimewa guru, berkata tanpa bisa dibantah. Jika ada yang melanggar, hukuman menanti.

"Pak, jangan sulit ya, nanti kepala aing bisa meledak," ucap Rahmat teman sekelas Hanin, dan disahuti gelak tawa teman sekelasnya.

"Lo belajar, Nin?" Hanin mengangguk menjawab pertanyaan sahabatnya. "Lo mah, sekalipun nggak belajar, emang pinter, Nin. Dasarnya otak lo encer."

Citra tertawa kecil. "Makanya otak lo kasih air yang banyak biar encer kayak Hanin. Jangan makan doang."

"Sudah. Silahkan jawab pertanyaan ini di lembar jawaban kalian." Perintah Pak Arif ketika selesai menulis di papan. singkat, padat dan jelas.

"Gimana gue mau awet muda, kalau tiap hari di suruh mikir kek ginian! Bisa-bisa keriput gue makin banyak," ujar Lisa sang cewek selebgram.

"Udah, kerjain aja, Lis. Lo lupa, selebgram juga perlu ijazah." Hanin mengingatkan Lisa yang di balas dengan mulut komat kamitnya dan jari yang bergerak di atas kertas.

Selama ujian dadakan berlangsung, seluruh murid mengerjakan dengan berbagai gaya. Ada yang serius, ada yang garuk kepala, pura pura pinjam tipe-x, melirik Kanan kiri, melempar kertas dan hal lucu lainnya.

"Waktu habis," teriak Pak Arif. "Hanin, ambil kertas ujian temanmu."

"Siap, Pak!" Hanin berdiri kemudian berjalan menghampiri temannya satu persatu mengambil kertas ujian mereka. Ketua kelasnya fajar dan Hanin sekretaris. Awalnya Hanin menolak, tapi karena kerjasama seluruh siswa mereka memilih Hanin menjadi sekretaris lagi.

"Udah gue bilang! Selebgram juga butuh ijazah. Kenapa nggak lo isi?" Hanin berucap pada Lisa dengan berbisik.

"Kumpulin aja! Kalau hasil gue jelek, gue hempasin Pak Arif sama rambut cantik gue." Hanin hanya bisa menghela napasnya melihat tingkah Lisa. Lebih baik pergi daripada mendengarkan ocehan nyeleneh Lisa.

Setelah kepergian Pak Arif, Citra menoleh kebelakang, tempat duduk Hanin. Citra duduk bersama Lisa sedangkan Riri dengan Hanin. "Lo bisa, Nin?" Hanin mengangguk.

"Gitu gue minta contekan lo diem aja!" Citra cemberut.

"Belajar dong! Buat apa sekolah tiap hari." Hanin menjawab dengan cuek.

"Nah! Betul itu kata Hanin. Belajar, buat apa sekolah tiap hari kalau ujian nyontek?" Lisa menyahut.

"Kayak lo bisa aja," jawab Citra sengit.

"Meski nilai gue jelek, gue udah dapet uang tiap bulan. Kalau kalian?"

"Sudah sudah. Lebih baik kalian ganti baju, bentar lagi jam pelajaran olahraga," ucap Hanin melerai, kalau diteruskan bisa-bisa perlu pengacara untuk memisahkan mereka.


🌺🌺🌺

"Nin!"

"Apa sih teriak-teriak?"

"Traktir lah." Akil tersenyum lebar.

"Bunda kenapa?"

"Biar uang saku gue utuh. Emang Pak Adam kenapa? Nggak mungkin kan kepala sekolah dompetnya kena psbb juga?"

"Terus kalo uang saku lo utuh, mau buat apa?"

"Gue mau beli Oreo supreme. Itu lho biskuit yang lagi viral karena harganya selangit."

"Jangan deh, ketinggian itu. Kasian gue sama lo yang pendek gini, masa mau gapai langit, kagak bisa lah." Akil menjitak kepala Nino. "sakit bego!"

"Harganya yang selangit, dudul!" geram Akil. "Tubuh boleh pendek tapi, cita-cita setinggi langit."

"Ya mana gue tahu. PR aja lo kerjain di sekolah, gimana mau pinter lo!" Nino berjalan santai di koridor sekolah. Mengedipkan matanya atau terkadang memberi senyum yang melelehkan hati perempuan. Sedangkan Akil di sampingnya beruntung bisa ketularan tenar.

Dari belakang Rendi, Iqbal dan Alex datang. Menghampiri keduanya sehingga membuat Nino dan Akil hampir terjungkal. "Sialan! Kalian pikir ini lapangan buat lari-lari? Mana nabrak gue lagi. Kalau cakep gue ilang gimana?" Akil mengoceh selama perjalanan menuju kantin.

"Ya maaf, kita lagi dikejar sama Sherly, nih!" Rendi bergidik ngeri.

"Dimana?" Bukannya menjawab pertanyaan Akil, keempatnya sudah lari menuju kantin. "Punya temen kayak gitu dibuang ke selokan boleh nggak? Tapi kasian kalau selokannya mampet. Ya udah deh, biarin aja, sapa tau besok mereka bermanfaat." Akil bermonolog sembari berjalan menuju kantin juga.

Di kantin, keempatnya sudah menghadap mangkok satu persatu. Akil duduk di samping Nino dan bertanya, "Siapa nih yang traktir?" tanya Akil dengan suka cita menyambut hangatnya kepulan asap bakso.

Semua diam menunggu Akil melahap makanannya hingga kemudian suara Rendi membuat Akil tersedak, "Yang datang terakhir."

"Jahat." Akil berucap sambil pasang wajah ngambek, tapi siapa peduli. Karena kini keempatnya berlagak muntah.

"Cita cita itu, beli pabriknya. Bukan biskuitnya." Nino menatap malas Akil.

"Dasar songong, lo!"

"Sayangnya temen songong ini selalu kasih lo tumpangan ke sekolah."

"Tuker Nino yang baik hati ada nggak ya?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Akil semua pura-pura sibuk. Rendi meminum jus nya, Iqbal menoleh kanan kiri dan Alex memakan baksonya. Tidak ada yang berani menimpali perkataan Akil, semua demi kelangsungan hidup. Bergaul dengan anak kepala sekolah yang kaya, pintar dan tampan, siapa yang tidak mau? Karena wajah yang standar pun ikut melejit karena dekat dengan Nino. Ya, meski kadang tingkahnya abstrak dan perkataanya yang pedas. Namun sayangnya semua siswi mengantri untuk bisa berjalan di sampingnya.

"Makan aja. Bayangin lagi makan biskuit impian lo."

"Makan bakso bayangin makan Oreo? Meski belakangnya sama-sama huruf 'O' rasanya beda, Nino. Gue cocolin saus baru tahu rasa, lo!"




Garing?
Biarin.
Ntar gue kasih kerupuk biar makin keriuk
Hahaha . . .

Akhir Cerita Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang