Twenty Eight

12 3 0
                                    

Kehilangan bolpoin bisa beli, kalau kehilangan kamu aku cari di mana? Bahkan tanpamu aku tak yakin bisa melangkah jauh.




Pria tua itu mengerjapkan matanya berkali-kali ketika merasakan jemari yang ia genggam perlahan mulai bergerak.

"Hm ...." Nino mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang di terima netra hitam miliknya. Mencoba menganalisis sedang di mana dirinya berada.

"Nino ... Nino kamu sudah bangun, Nak? Papa panggilkan dokter sebentar, ya." ucap pak adam terlalu bahagia bisa melihat Nino membuka mata lagi.

"A ... air," ucap Nino terbata karena tenggorokan kering yang saat ini dirasakannya.

"kamu haus, Nak? Sebentar ...." ucap Pak Adam masih kaget karena Nino sadar lebih cepat dari yang diperkirakan, alasan itu pula yang membuat Pak Adam gugup. Entah bahagia karena Nino sudah bangun atau gugup karena ini pertama kalinya mereka berbicara setelah terakhir kali pertemuan mereka saat pak Adam memberi hukuman di kamar Nino. Pak Adam memencet tombol yang terhubung dengan dokter, memberi tahu bahwa Nino sudah sadar.

Dengan masih gemetar pak adam menyodorkan sedotan ke mulut Nino yang diterima dengan segera, sedangkan Pak Adam memegangi gelas yang berisi air putih tersebut. "Bagaimana? Mana yang sakit? Apa masih sakit semua?"

Nino tersenyum, tidak menyangka sakitnya membawa bahagia. Dia pikir, papanya tak akan mau melihat dia lagi, ternyata dia salah. Papanya masih sangat menyayangi nya. Buktinya, papanya mau menunggu dirinya yang kini dirawat di rumah sakit padahal dia tahu, papanya benci rumah sakit, apalagi setelah kejadian lima tahun lalu. Ada trauma disana, di hati dan tubuh pak adam.

Menyentuh lengan pak adam, Nino bertanya, "papa nggak istirahat? Besok kan kerja?" Nino tadi sempat melirik jam di dinding kamarnya dan ternyata sudah pukul dua pagi, maka dari itu dia memberanikan diri bertanya. Berapa lama dirinya pingsan?

"Papa sudah mengsongkan jadwal. Jadi bisa seharian jaga kamu."

"terima ...." ucapan Nino terhenti kala dokter memasuki kamarnya.

Dengan sigap Pak Adam berdiri dan mempersilahkan dokter untuk memeriksa Nino. Sambil menunggu Nino diperiksa beliau pergi ke toilet karena sejak kemarin dirinya belum kesana sama sekali. Saat kembali dari toilet, dokter tersebut sudah selesai memeriksa Nino. "Bagaimana keadaan Nino, Dok?" tanya Pak Adam dengan harap-harap cemas.

"Sudah lebih baik. Hanya saja masih perlu vitamin dan memakan makanan yang mengandung zat besi supaya darah bisa kembali mengikat hemoglobin. Dia juga masih terlalu lemah jika harus pulang sekarang. Nino butuh istirahat dan vitamin yang banyak untuk mengembalikan staminanya"

"Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, Pak."

Pak Adam mengantarkan dokter itu sampai ke pintu, setelahnya dia kembali ke ranjang Nino dan bertanya, "mau makan apa? Bubur."

"Gigiku masih utuh, Pa. Jadi stop, kasih aku makan bubur." Nino memberengut lucu.

"Lalu kamu mau makan apa?"

"Mie ...."

"No mie ayam. Soto ayam, boleh." Melihat Nino akan mengucapkan sesuatu segera Pak Adam menyelah, "Apalgi bakso, big no."

"Lalu aku harus makan apa?"

Tersenyum, Pak Adam kembali membelai Surai hitam milik putra semata wayangnya. "Kamu, nggak kangen Hanin emangnya?"

Pertanyaannya apa jawabannya apa, melenceng terlalu jauh.

Reflek Nino menoleh pada sang Ayah yang kini tengah menunjukkan deretan gigi putihnya. "Apa maksud Papa? Coba ulangi."

"Ulangi apa?"

"Itu tadi."

"Yang mana?" Sengaja Pak Adam menggoda anaknya.

"Ck." Nino bersedekap dada, ngambek.

Menjawil hidung Nino, Pak Adam berkata, "kamu ... kalau makan nggak sehat, nggak bisa ketemu Hanin. Mau di sini terus?"

"Ya enggaklah."

"Ya udah, makan yang sehat."

"Tapi nggak bubur, Pa," rengek Nino.

"Yakin?"

"Yakinlah! Apa nikmatnya makan makanan lembek berwarna putih dan tanpa rasa itu."

Mengangkat bahu tak peduli, Pak Adam berkata, "oke, Papa yang akan makan bubur buatan calon mantu ini."

Nino melotot dan dengan kecepatan di atas rata-rata dia mengambil rantang berisi bubur dari tangan papanya. Memakan dengan rakus tanpa jeda. "Jangan cepat-cepat nanti tersedak." Pak Adam tersenyum geli.

Seharusnya dia menikmati momen seperti ini dari dahulu. Melihat senyum dan pancaran kebahagiaan dari mata putranya. Mendengarkan cerita tentang cinta monyetnya. Mendukung setiap keputusan dan cita-citanya. Atau bermain basket dan sepak bola bersamanya.

Menitikkan air mata, Pak Adam menyesal telah melakukan kejahatan itu pada putranya. Sungguh, dia pun bingung menghadapi situasi yang tidak dia perkirakan sama sekali saat itu. Dia terpuruk, tapi lupa bahwa ada yang lebih terpuruk dari dirinya. Dia menghukum dirinya tapi tak sadar bahwa ikut menghukum anaknya. Bahkan tak terpikirkan kata-kata Hanin yang menyayat kemarin. "Dia Seperti kehilangan kedua orang tuanya secara bersamaan tapi dengan cara yang berbeda dan di dunia yang berbeda."

Nino berhenti menyuapkan bubur ke mulutnya. Meletakkan bubur di atas nakas, Nino mengambil jemari papanya. "Terima kasih sudah kembali." Tangis yang dari tadi ditahan Nino akhirnya keluar juga.

Dari awal dia bangun dari tidurnya dan melihat sikap papanya yang berbeda, Nino sudah ingin menjebol air mata yang ada di bendungan hatinya. Bukan tangis sedih, melainkan tangis bahagia karena dia bisa merasakan kehangatan seperti dulu lagi. Tangis bahagia karena bisa merasakan kasih sayang papanya lagi. Dan tangis bahagia karena papanya mau menerima Hanin.

Memeluk Nino dengan erat, Pak Adam berucap, "maafkan Papa, maafkan Papa."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kita hanya perlu ikhlas dengan apa yang terjadi."

"Terima kasih. Terima kasih masih mau memberi Papa kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Papa tidak akan mengulanginya lagi."

Pak Adam melepas pelukannya dan menatap wajah putranya. Maju untuk mencium kening nya. "Mari kita jalan bersama. Menghadapi hari yang baru bersama."

"Kayak pengantin aja kata-katanya." Keduanya tertawa bersama.

Nino ingin tahu siapa yang mengubah papanya. Ingin tahu apa yang dia ucapkan sehingga membuat papanya kembali seprti dulu begitu pula hubungannya. Namun, itu semua di tahannya. Karena pelan tapi pasti, Nino akan mencari tahu dan bisa sangat berterima kasih padanya.

"Habisin buburnya terus tidur lagi."

"Pa, aku baru bangun."

"Tapi sekarang belum subuh Nino. Kamu mau ngapain?"

"Aku bosen, Pa."

"Lagian, siuman kok pagi buta gini. Nanti pagi kek biar bisa jalan ke taman atau lihat acara apa gitu. Kalau kita ke taman sekarang yang ada ketemu suster ngesot bukan cewek cantik nan seksi," cerocos Pak Adam tanpa jeda. Nino hanya tertawa geli.

"Papa udah makan?"

"Udah, tadi dibawain sama calon mantu."

"Lauk apa?"

"Nasi Padang."

"Enak banget? Kok aku bubur?" Tanya Nino tak terima.

"Makanya cepetan sembuh."

Kehangatan itu kembali di tengah dinginnya udara pagi. Bahkan angin yang berhembus tak lagi mampu mendinginkan aura anak dan bapak yang sempat terhenti lima tahun itu.

Namun, tanpa perlu info dari siapapun, sepertinya Nino tahu siapa yang membuat papanya berubah. Tersenyum, Nino sangat berterima kasih kepada ceweknya.

Akhir Cerita Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang