Six

35 7 0
                                    

Keluar gih cari udara segar.
Baru di senyumin, eh, udah senyum senyum sendiri.


Nino baru selesai mandi ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya. "Mas Nino, makan malam sudah siap, Mas," teriak Mbok Atin, pengasuhnya sedari kecil.

"Iya Mbok, bentar lagi turun."

Setelah menyelesaikan segala ritualnya, Nino turun dan mendapatkan meja makannya sepi. "Papa belum makan ya, Mbok?" Nino bertanya pada Mbok Atin tapi pandangannya mengarah pada meja makan. Di sana sudah terdapat banyak hidangan yang sudah menunggu dihabiskan. Pertanyaan yang sama ditiap harinya dan selalu jawaban yang sama pula. Sakit hati Nino, tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa semoga semuanya kembali seperti dulu.

"Tepatnya belum pulang, Mas."

"Aku ke rumah Akil aja deh, Mbok," jawab Nino tidak semangat sambil melangkah keluar rumah. Semenjak kejadian lima tahun silam, rumah megah itu menjadi sepi. Rumah yang katanya surga bagi penghuninya kini seperti kuburan. Orang-orang yang disayanginya pergi satu persatu.

Jika sang mama pergi untuk selamanya ke dunia yang berbeda, yang katanya lebih damai dan indah, maka sang papa ke dunia yang ramai, yang bisa didatangi siapa saja. Namun hatinya mati hanya tubuhnya yang hidup.

Sejak kematian sang mama, papa Nino terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Berubah menjadi dingin dan tak tersentuh. Pria yang dulunya hangat, lembut dan penuh cinta kasih, kini menjadi dingin, kejam dan tak punya hati. Tak jarang seluruh penghuni rumahnya menjadi sasaran empuk akibat emosi papanya yang tidak terkontrol.

"Mas Nino, makan di sini saja ya. Mbok temani. Kasihan yang udah masak, Mas." Benar kata Mbok Atin. Nino diajari menghargai orang lain jadi dia kembali ke meja makan dan menyantap makanannya dengan lambat karena pikirannya berkelana tentang kehidupannya saat ini. Ada sesak yang menguap ketika Nino mengingatnya. Tapi apa daya, kenangan hanya untuk dikenang dan bukan untuk diingat. Karena kita hidup di jaman sekarang bukan jaman dulu jadi tidak perlu terlalu menghayati.

Setelah makan, Nino pergi ke rumah Akil. Hanya disana dia merasakan adanya keluarga. Ada bunda yang ramah, ayah yang tegas, adik yang gemesin dan Akil yang seperti saudara.

Nino masuk ke rumah Akil tanpa salam. Dan seperti biasa langsung masuk ke kamar cowok tersebut. "Baru nongol, lo." Akil mengalihkan pandangannya dari game di tangannya menatap Nino yang kini duduk di sampingnya.

"Gue udah jadian sama Hanin," ucap Nino bahagia tapi nadanya datar.

"Gimana ceritanya lo bisa dapetin tuh cewek bon cabe?" tanya Akil penuh semangat.

Akhirnya Nino menceritakan semuanya pada Akil tanpa terlewatkan termasuk mobilnya yang menjadi barang taruhan. "Lo gila, sinting, nggak ngotak, bego. Itu mobil kenang-kenangan nyokap lo, dodol! Kenapa lo jadikan taruhan?" Akil gemas sekali dengan cowok di hadapannya. Segala umpatan ia berikan untuk Nino.

Masih teringat jelas bagaimana perjuangan Nino mendapatkan mobil itu. Dirinya harus menjual mobil mamanya kemudian menguras tabungannya yang berujung tidak bisa jajan selama sebulan. Belum lagi amukan sang papa yang tiada henti. Sehingga sampai sekarang Nino tidak disapa oleh papanya. Jangankan di sapa, dilirik saja tidak. Meski terkadang Akil melihat Nino melamun, Akil tidak berani berkomentar, dia lebih terlihat tidak terjadi apa-apa pada sahabatnya. Mengalihkan pembicaraan dan menghibur hanya itu yang bisa Akil lakukan.

"Dia punya air mata yang di sembunyikan, Kil."

"Dan lo, enggak?" Akil mencibir.

"Mungkin dengan itu kita bisa bersama dan menjadi lebih kuat."

Akhir Cerita Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang