PROLOG

22 5 2
                                    

"Harus kuberi nama apa pada tiap lembar halaman ini? Sebab terlalu banyak suka maupun duka didalamnya."
•••

Pria disampingku menyodorkan handphone keluaran terbaru miliknya, kalau tidak salah mereknya iPhone X yang kira-kira harganya sama seperti gaji pokokku selama tujuh bulan.

"Mau coba foto pakai hape saya? Saya rasa hasilnya akan jauh lebih baik daripada pakai Android punyamu," ucapnya dengan nada angkuh.

Cih, sombong sekali pria ini!

Kalau saja kau menjadi kekasihku, akan kubuat kau menjadi bucinku, apa saja yang kuingin dan tidak kuinginkan akan kau turuti! Dasar kecebong sombong!

Eh, apa maksud suara hatiku tadi?

"Nggak, makasih." Jawabku ketus lalu kembali membidik gumpalan-gumpalan awan yang sangat menakjubkan dan mengagumkan itu.

Pertama kali menaiki pesawat membuatku memiliki euforia tersendiri. Aku merasa tak henti-hentinya mengucap syukur dan terkagum-kagum dengan pemandangan diatas sini. Rasanya, aku ingin mengunjungi tempat-tempat terindah di Indonesia atau jika semesta mengizinkan aku juga ingin ke pelosok negeri ini.

"Setidaknya tolong bantu saya membidiknya, kamu kan lebih dekat dengan jendela, jadi hasil bidikannya akan lebih bagus. Saya juga mau pamer dan buat instastory biar followers saya tahu kalau saya sedang liburan," ucap pria itu memohon masih dengan mengulurkan handphone nya.

Cih, selain sombong ternyata dia juga punya sifat riya! Sangat-sangat tidak masuk dalam kriteria calon menantu idaman Ayah dan Ibuku.

Dengan sangat paksa aku mengambil handphone miliknya, rasanya tanganku sangat gemetar, karena baru pertama kali menyentuh barang yang memiliki nilai puluhan juta.

Menarik napas panjang, kuyakini dalam hati kalau semua akan baik-baik saja dan aku tidak akan merusak atau membuat lecet barang sedikit saja pada handphone mahal tersebut.

Cekrek.

Cekrek.

Cekrek.

Setelah kurasa cukup, aku melihat hasil bidikanku dan tersenyum senang.

Sempurna.

Sepertinya part-time jasa Fotografer boleh dijadiin peluang juga hihi.

Puas dengan hasil bidikannya, handphone milik kecebong sombong bin riya ini aku kembalikan pada pemiliknya.

"Thanks. Wooww, hasil bidikanmu boleh juga, bagus sekali." Pujinya.

Aku hanya tersenyum sedikit, aku tidak ingin merasa tinggi hati karena dipuji olehnya. Memang siapa dia?

"Kau mau?"

Hah, apa maksudnya?

"Maksudnya?" Tanyaku tak paham.

"Foto yang tadi kamu bidik, kamu mau?"

Aku menatapnya berbinar. Ya jelas mau! Hasilnya bagus gitu, gimana sih.

"Boleh,"

"Mana nomor WA-mu?"

Aku menaikkan sebelah alisku, seakan memberikan protes akan pertanyaannya.

"Saya kirim via WA aja, emang mau dikirim pakai apa? Share-it? iPhone dan Android setau saya enggak bisa." Ucap pria kembali dengan nada angkuhnya.

Akupun menyebutkan nomor WhatsApp-ku agar pria kecebong ini segera mengirim apa yang aku inginkan.

Ting.
Ting.

Notifikasi pesan dari WhatsApp sudah masuk, tanda bahwa jika kecebong sombong itu sudah mengirim gambarnya.

Aku kembali memperhatikan hasil gambarku tanpa perlu repot-repot menyimpan nomornya atau sekadar melihat foto profilnya.
•••

Kukira percakapan singkat kami sudah berakhir sejak di pesawat dan chat kami berakhir hanya sebatas mengirim gambar, tetapi tanpa kusadari dia memiliki maksud terselubung di dalamnya.
•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DAISYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang