Bertemu dia|| Revisi✔

5.7K 289 33
                                    

Bibir ini tak mampu, hanya sekedar untuk menyapa
Bukan karena akutak suka, hanya saja aku memang tidak terbiasa

👽👽
*
*
*
Jangan lupa
VOTE⭐
dan
💬KOMEN💬

Plak!

Aku meringis menahan sakit, ingin rasanya aku mematahkan kayu yang tidak pernah belajar akhlak itu. Ku usap lembut telapak tanganku yang kini sudah memerah gara-gara pukulan yang diberikan ustadz Syarif.

"Kalian itu sudah kelas tiga! seharusnya ngasih contoh yang baik buat adik-adiknya!" Suara tegas Ustadz kembali diselangi dengan bunyi kayu yang tepat mengenai tangan temanku di samping.

Aku meliriknya sejenak, dia terlihat sama seperti ku, menahan sakit akibat kayu yang dari tadi ingin aku lenyapkan.

"Butuh berapa iqob lagi, biar kalian sadar?" Pertanyaan yang lebih terdengar curhatan frustasi itu membuat tawaku rasanya ingin menerobos keluar. Aku memang anaknya pecicilan, biarpun sudah lama mondok sifat pecicilan ku belum juga ada perubahan, malah makin merajalela ketika aku mulai naik ke kelas tiga.

"Ustadz, biar tidak capek. Lebih baik hukumannya dibatalkan saja. Kasihan Ustadz." Aku mencoba memberi sedikit solusi. Kurang baik apa aku, coba?

Ustadz tidak menggubris, beliau malah semakin menata sangar ke arahku. Rasanya sebentar lagi aku akan ditelan bulat-bulat.

"Kenapa kalian harus bikin masalah itu keroyokan? giliran, kek, caranya, biar ada bedanya. Makin botak rambut saya gara-gara hadapin kalian terus!"

Aku dan yang lain saling memandang satu sama lain, melongo. Kembali ku eratkan bibirku untuk tidak terbuka. Jika Lepas maka tawa ku yang cempreng itu pasti akan memenuhi ruangan tempat kami saat ini.

"Sudah Rara bilang, Ustadz--"

"Diam, Ra!"

Ustadz memijit keningnya prustasi. Aku tundukkan kembali pandangaku sembari ku katupkan erat kedua bibirku ketika tatapan Ustadz mulai meneror kembali.

Apakah aku salah memberi solusi?

"Untuk kali ini saya kasih keringanan, sebagai hukumannya tulis istighfar 1000 kali, kumpulkan nanti sore setelah solat asar. Sekarang kalian boleh pergi!" Aku melongo sejenak, ini sih bukan dikasih keringanan. Menulis istigfar 1000 kali adalah hal yang biasa buat kami, terlebih aku yang notabennya langganan hukuman, tapi dalam waktu setengah hari? dengan kondisi hari ini jadwal kegiatan begitu padat. Buju buneng, niat banget ustadz pengen nyiksa.

"Rara! kenapa masih di sini! apa hukumannya belum cukup?" suara ustadz menyadarkan aku. Aku melirik sekeliling, ya Allah tega benar, dah mereka, meninggalkan aku sendiri di hadapan Ustadz. Dasar teman-teman pada durhaka.

Aku memasang senyum andalan ku, menunduk sejenak memberi hormat kepada Ustadz lalu kabur dari hadapan beliau. Ingat saja, aku tidak akan mengampuni mereka. Tunggu pembalasanku, awas aja nggak akan aku kasih mereka contekan.
                            👽

"Wah! bener-bener parah kalian ya! Ninggalin aku sendiri kayak kambing congek di depan Ustadz." Suara cemprengku langsung saja menggema sampai ke pojok kamar . Oh, ya, tadi aku mendapat hukuman bukan cuma sendiri tapi berlima. mereka semua teman satu kamar aku di asrama, parah, kan, kompaknya kagak benar. Eh tapi aslinya kami semua baik kok, pintar-pintar lagi.

Pesantren Berdarah ✅✔(End)||RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang