photograph, fakta, dan buku besar akuntansi
Lingga menyematkan earphone ke dalam telinga. Jempolnya segera menggulir deretan daftar putar terkini seraya berpikir lagu mana yang cocok untuk mengawali hari. Pilihannya jatuh pada Photograph milik Ed Sheran. Lingga menikmati lagu itu. Tanpa sadar kakinya mengetuk lantai kereta mengikuti irama lagu, mengabaikan kereta yang penuh.
Setiap harinya KRL jurusan Bogor-Jakarta Kota selalu dipadati penumpang. Mayoritas orang kantoran yang rela berdesak-desakan demi datang tepat waktu. Sejujurnya Lingga kesal karena sering melihat beberapa karyawan mendorong penumpang lain agar bisa masuk.
"Misi-misi," ucap seorang perempuan berseragam putih abu-abu sama seperti dirinya. Seragam perempuan itu ditutupi dengan kardigan merah muda tipis. Dia memegang tangan temannya di belakang, seperti induk ayam yang enggan kehilangan anaknya.
Walau sedang mendengar lagu, telinga Lingga masih sehat. Dia menoleh dan memberi jalan untuk keduanya. Setelah itu Lingga berpegangan kembali pada handlegrip dan fokus mendengar lagu. Mata Lingga tak sengaja menangkap dua perempuan tadi di sela keramaian. Mereka duduk setelah ada dua pria yang menawarkan kursinya agar bisa mereka tempati.
Tepat setelah itu, pintu kereta ditutup dan segera meninggalkan Stasiun Pasar Minggu.
***
Besoknya semesta membuat pertemuan kedua Lingga dan dua perempuan kemarin. Mereka berdiri berjejer di depan Lingga karena kali ini kursi penuh. Hari ini Lingga sedang tidak mood mendengarkan lagu, jadi dia biarkan telinganya bebas menangkap semua suara di sekitarnya.
Termasuk percakapan dua perempuan ini.
"Pit, kelas lo udah ulangan Geografi?" tanya perempuan berambut sebahu, menoleh ke belakang pada temannya yang berdiri di depan Lingga.
Perempuan yang dipanggil 'Pit' itu lantas menjawab, "kelas gue hari ini. Btw, lo ngerasa nggak kalo kelas 12 berasa cepet? Perasaan baru tiga kali pertemuan udah ulangan aja," keluh 'Pit' seraya mengeratkan kardigan merah muda. Agaknya AC KRL berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya hingga beberapa penumpang merasa kedinginan sampai tertidur pulas.
Lingga mengangguk pelan sendiri, setidaknya lewat percakapan itu dia tahu tiga fakta; perempuan kardigan merah muda itu bernama 'Pit', dia kelas 12 seperti Lingga, dan dia anak SMA karena tidak ada anak sekolah Lingga yang belajar Geografi.
"Udah nasib jadi kelas 12. Enggak ada tuh kayak sinetron, haha hihi tau-tau lulus aja," ujar si Perempuan Berambut Sebahu masih menghadap ke 'Pit'. Selanjutnya, dia mendadak heboh sendiri. "IH, Pipit! Lo nguncir rambut? Tumben banget!" Lalu tangannya bergerak ingin menyentuh rambut perempuan berkardigan merah muda yang dikuncir rapi.
"Apaan sih," elak perempuan depan Lingga, menahan tangan sang teman yang ingin menyentuh rambutnya. "Udah dari tadi juga."
Sekarang Lingga tahu perempuan tepat di depannya bernama Pipit.
"Tumben lo mau nguncir rambut. Biasanya digerai—apa ini rahasia lo dapet nilai bagus?" cerocos teman Pipit. Di telinga Lingga, teman Pipit terdengar menyebalkan. Mungkin kalau Lingga jadi Pipit, dia sudah diam tak menggubris pertanyaan temannya.
Tanpa diduga, Pipit merespon. "Oh, iya dong. Rambut gue sengaja dikuncir biar lancar pas ngerjain soal."
Ada-ada aja, pikir Lingga sambil menunduk. Kini kereta terasa mulai melambat, mungkin stasiun berikutnya sudah dekat.
Stasiun Duren Kalibata.
Duren Kalibata Station.
"Ayo, turun," ajak Pipit pada temannya, membuat Lingga mendongak. Mereka segera merapat ke dekat pintu kereta.
Fakta keempat; Pipit dan temannya turun di dua stasiun sebelum Lingga.
***
Lingga merasa kebetulan ini jadi semakin aneh. Sudah dua minggu Lingga melihat Pipit dan temannya satu gerbong dengannya. Telinganya lama-lama semakin sensitif pada suara mereka. Jadi dua minggu terakhir Lingga selalu mendengar percakapan keduanya. Dia kadang heran bagaimana bisa perempuan memiliki banyak topik obrolan. Setiap hari ada saja topik yang dibahas. Mulai dari pelajaran, produk make up, sampai makanan kekinian.
Tapi yang membuat Lingga semakin heran adalah dari sekian gerbong, kenapa mereka harus satu gerbong?
Sebelum pertanyaan itu terjawab, hari ini terjadi lagi.
Pipit dan temannya tiba di gerbong yang sama dengan Lingga, tepat sebelum pintu kereta ditutup. Nafas mereka terengah-engah, seketika mengingatkan Lingga tes sprint kemarin.
Lingga memicingkan mata ke Pipit yang berantakan. Rambut panjang yang tergerai terlihat kusut dan kardigan merah mudanya melorot dari pundak. Sesaat setelah kereta berjalan, mereka masih mengatur nafasnya.
"Lo sih pake buku Akuntansi ketinggalan segala. Nyaris ketinggalan kereta, kan?" tuduh teman Pipit yang masih bisa Lingga dengar. Pipit dan temannya bersandar di dekat pintu kereta. Sementara Lingga berdiri memegang handlegrip erat, tak jauh dari mereka.
Pipit meletakkan buku folio hardcover bermotif burung wallet ke rak di atasnya persis. Kemudian dia memindahkan tas ke depan.
Ini mah alamat ketinggalan lagi, pikir Lingga.
"Gue lupa kalo hari ini bimbel Ekonomi," ucap Pipit. Tangan kanannya meraih tiang besi untuk berpegangan sementara tangan kirinya menyisir rambut kusutnya dengan jari. "Hari ini materinya Akuntansi."
Selanjutnya, mereka mengobrol seputar pelajaran Ekonomi yang tak Lingga pahami hingga kereta berhenti di Stasiun Duren Kalibata. Sesuai dugaannya, gadis itu dan temannya langsung melesat turun dan melupakan buku hardcover Akuntansi di atas rak.
Hah bener, kan? batin Lingga. Hatinya tergerak untuk mengamankan buku Pipit sebelum petugas KRL menemukannya. Lagipula besok dia pasti bertemu Pipit di kereta.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan: Boleh Minta Kontaknya?
Novela Juvenil[SELESAI] Tapi yang membuat Lingga semakin heran adalah dari sekian gerbong, kenapa mereka harus satu gerbong? acravitation, 2020 a songfict from Sentimental Train by AKB 48 photo by Liam Burnett-Blue from unsplash