sandwich, suka, dan perubahan
Hari ini kelas Lingga jam kosong karena guru-guru sedang rapat menjelang USBN seminggu lagi. Pensil yang diapit jarinya pun aktif mencoret jawaban modul. Lingga pikir lebih baik mengerjakan soal daripada gabut seperti temannya yang lain.
"Itu kalo nggak dimakan mending buat gue." Tangan Fadil mengarah ke sandwich pemberian Pipit yang tergeletak di sudut meja.
Lingga mengambil sandwich itu cepat sampai pensilnya lepas dari genggaman. "Enak aja, punya gue!"
"Sewot amat," komentar Fadil.
"Ini dari Pipit," lanjut Lingga sambil mengambil pensil di bawah meja. Dalam hati dia mengumpat, tak seharusnya dia bilang begitu atau Fadil akan bertanya lebih jauh soal Pipit.
"Apa, Ga? Dari siapa tuh?" goda Fadil.
"Gue bilang belum sarapan," ralat Lingga bohong seraya membenarkan posisi duduk.
Fadil mendelik. "Kuping gue masih sehat! Jelas-jelas lo bilang dari Pipit, Bego. Lo utang cerita sama gue."
Akhirnya Lingga terpaksa menceritakan kejadian kemarin dan tadi pagi seraya melahap melahap sandwich yang diberikan Pipit. Dua kali mengunyah, Lingga segera tahu kalau sandwich ini terasa seperti buatan rumah.
Apa iya ini bekelnya Pipit?
"Jadi, gue resmi kenalan sama dia," simpul Lingga di akhir cerita sambil meremas bungkus plastik sandwich dan meletakkannya di kolong meja.
"Harusnya lo sekalian minta kontak kek," sahut Arham, teman Lingga tepat di depannya. Dia membalikkan badan agar dapat menimbrung obrolan Lingga dan Fadil.
"Heh, ngikut aja lo!" seru Lingga sewot.
Arham membalas, "gini-gini gua pernah pdkt-in cewek. Awas aja kalo tiba-tiba lo telepon gue buat konsultasi."
"Apaan, orang gue nggak suka Pipit," bantah Lingga.
Fadil di sebelah memutar mata. "Lingga, Lingga. Sampai kapan lo nyadar kalau lo suka Pipit?"
"Biasa, cowok kalau demen duluan bakal ngelak," ujar Arham yang sekarang fokus bermain games di ponsel.
Fadil heboh. "See? Gue udah bilang lo denial. Semakin lo denial, semakin lo kepikiran sama Pipit!"
Arham tiba-tiba tersentak ke belakang lalu meletakkan ponselnya begitu saja di meja Lingga. Sepertinya dia kalah dalam games.
"Sebenarnya lo mau hubungan lo sama Pipit kayak gimana? Cuma saling kenal doang terus nggak pernah ngobrol lagi apa lebih?" tanya Fadil gemas.
Pertanyaan Fadil membuat Lingga berpikir. Lingga senang mendengar Pipit bercerita. Suara lembut perempuan itu perlahan jadi candu baginya. Seakan dia ingin mendengarnya lagi dan lagi. Tapi ada perasaan aneh bersemayam di lubuk hati Lingga yang sulit dideskripsikan.
Atau mungkin ... keinginan Lingga untuk mendengar suara Pipit dan perasaan aneh ini saling berhubungan?
***
Pagi lain di gerbong kereta dengan tujuan akhir Jakarta Kota. Lingga berniat untuk berterimakasih kepada Pipit secara langsung—mengingat dia belum punya kontak Pipit. Setelah lima menit Lingga duduk, Pipit dan temannya menginjakkan kaki di atas gerbong kereta.
Lagi-lagi mereka berada di gerbong yang sama.
Posisi Lingga dan mereka tak jauh. Lingga berdiri sambil memegang handgrip dekat pintu lalu Pipit dan temannya duduk di bangku dekat pintu pula. Jarak mereka kira-kira hanya lima langkah.
Lingga yang dari tadi memerhatikan Pipit tiba-tiba tersentak kaget. Pasalnya perempuan itu melihat ke arahnya sambil tersenyum. Tak hanya tersenyum, Pipit bahkan melambaikan tangan kanannya pelan.
Dia dadah-dadah ke gue, bukan? Lingga jadi bingung sendiri. Bukannya membalas, dia malah menengok ke belakang. Tapi penumpang di belakangnya pun sibuk berjibaku dengan ponsel masing-masing.
Berarti beneran ke gue dong? Perasaan aneh yang Lingga rasakan beberapa pekan terakhir mulai menyelinap di hati tanpa izin. Terlebih sekarang pipinya mendadak hangat. Hal yang aneh menurut Lingga karena AC kereta bisa dibilang dingin.
Sambil dilanda kebingungan, Lingga akhirnya membalas lambaian tangan Pipit dengan sebuah lambaian dan senyuman kaku. Tepat setelah itu jarak antara Lingga dan Pipit yang semula kosong langsung terisi dengan segerombolan penumpang yang baru masuk.
Yah, nggak bisa liat doi.
Tak sampai sedetik kemudian Lingga menyadari sesuatu. Doi? Dia Orang Istimewa???
Lingga mengedipkan mata cepat. Sejak kapan dia menganggap Pipit sebagai orang spesial? Namun kalau diingat lagi, Pipit telah mengisi pikirannya beberapa minggu ini. Mulai dari perasaan aneh, perkataan temannya, dan ... keinginannya untuk mengobrol bersama Pipit.
Ketika Lingga menghubungkan semua itu, terbitlah satu kesimpulan di benaknya.
Selama ini dia memang menyukai Pipit.
Baru saja Lingga sadar akan perasaannya pada Pipit, tahu-tahu kereta sudah berhenti di Stasiun Duren Kalibata. Lingga rasa ini saatnya untuk bilang terima kasih pada Pipit. Jadi, dia bergerak menyelinap di antara celah antar penumpang dan sampai di dekat Pipit dan temannya.
Begitu pintu dibuka, teman Pipit langsung berlari dengan lincahnya melintasi peron, meninggalkan Pipit sendirian di gerbong. Sepertinya ada yang aneh. Harusnya Pipit turun bersama temannya.
"Pit," panggil Lingga namun tak kunjung dijawab. Setelah dia perhatikan, tatapan perempuan itu kosong.
Lingga mengernyit. "Halo?" Lingga melambaikan tangan di hadapan wajah Pipit dan masih sama.
Pintu kereta akan segera ditutup.
The door will be closed.
Mata Lingga berkelebatan ke sana ke mari, bingung kenapa Pipit tidak segera turun dari kereta sementara pintu akan ditutup.
"Pit!" seru Lingga sembari menepuk pundak Pipit berkali-kali, panik.
Tubuh Pipit tersentak lalu matanya menatap Lingga nyalang seakan dia membuat kesalahan besar padanya. Lingga bergidik ngeri.
"Apa sih?" tanya Pipit kasar seraya menyingkirkan tangan Lingga di pundaknya dan beranjak turun ke peron.
Sampai pintu ditutup pun, Lingga masih terkejut. Tadi dia dadah-dadah ke gue terus tiba-tiba marah gini? []
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan: Boleh Minta Kontaknya?
Novela Juvenil[SELESAI] Tapi yang membuat Lingga semakin heran adalah dari sekian gerbong, kenapa mereka harus satu gerbong? acravitation, 2020 a songfict from Sentimental Train by AKB 48 photo by Liam Burnett-Blue from unsplash