[Dari Lingga-3]

153 55 13
                                    

telepon, kantuk, dan kejutan listrik

Sejak insiden salah orang, Lingga jadi patah semangat. Mungkin saja dia ditakdirkan membawa buku Akuntansi Pipit sampai lulus nanti. Bicara soal lulus, Lingga jadi risau karena belum yakin ingin lanjut kuliah atau langsung bekerja seperti kebanyakan alumni sekolahnya.

Semalam suntuk Lingga menelepon Fadil hanya untuk berbicara soal kehidupan setelah lulus yang tinggal menghitung beberapa bulan dan ujian nasional pun sekitar satu bulan lagi.

Menelepon Fadil tak mampu menghilangkan rasa khawatirnya. Jika dipersenkan, percakapan mereka tentang kekhawatiran masa depan sekitar 60%, selebihnya Pipit. Temannya itu bahkan tertawa setelah Lingga bercerita ketika dia salah orang.

"Aduh, sumpah, Ga!" ujar Fadil di sela-sela gelak tawanya. "Gue ngakak asli! Kalo gue jadi lo, udah langsung pindah gerbong!"

"Nggak lagi-lagi gue nyapa orang," balas Lingga seraya melemparkan diri ke atas kasur empuk.

Fadil menggoda Lingga. "Halah, pret! Nggak mungkin! Kalo lo ketemu dia lagi, pasti lo nyapa. Percaya sama gue!"

"Pede banget, Bos."

"Gua yakin!" seru Fadil terdengar meyakinkan. "Soalnya lo lagi di fase tertarik alias suka, Ga. Lo aja yang denial."

"Hah, apaan dah?" elak Lingga. Dugaan Fadil tak masuk akal bagi Lingga. Suka? Yang benar saja dia suka perempuan yang baru ditemuinya selama dua minggu.

"Nggak mungkin, anjir!" tambah Lingga.

Terdengar helaan nafas di ujung sana. "Tuh, bener, lo lagi denial. Udah, ya, gue ngantuk." Lantas panggilan ditutup sepihak, meninggalkan Lingga yang terus memikirkan perasaan anehnya pada Pipit.

Sialnya perasaan aneh itu semakin berkembang tiap hari.

***

Ini pagi hari dan Lingga mengantuk. Lingga duduk di kursi sambil memeluk tas di depannya kuat-kuat. Dari tadi kereta masih belum berangkat padahal sudah lewat lima menit dari jam biasanya. Gerutuan penumpang begitu terasa, banyak yang mengeluh tentang keterlambatan ini.

Lingga tak kuat menahan kantuk. Akhirnya dia menjadikan tas sebagai bantal dan tidur begitu saja. Lima menit tidur, kereta mulai berjalan.

Baguslah, batin Lingga kemudian terlelap lagi.

Kereta berjalan seperti biasa, namun di tengah perjalanan menuju Stasiun Pasar Minggu Baru, kereta berhenti mendadak. Beberapa penumpang hilang keseimbangan hingga mendorong penumpang lainnya. Lingga yang terlelap tiba-tiba merasa tubuhnya terdorong ke samping kanan dan membuatnya langsung bangun.

"Maaf-maaf," ujar penumpang laki-laki di sebelah kirinya, buru-buru membenarkan posisi duduknya.

Lingga turut membenarkan duduknya, lalu balik minta maaf pada penumpang sebelah kirinya. Suasana gerbong kereta menjadi chaos. Banyak ungkapan protes yang keluar dari mulut para penumpang.

Lingga jadi tak enak dengan penumpang sebelah kanan karena Lingga telah mendorongnya. Kemudian dia menoleh. "Maaf–"

Penumpang sebelah kanan menoleh ke Lingga. "Apa?" Sepertinya dia tak mendengar ucapan Lingga.

Tiba-tiba dada Lingga sesak. Serasa ada kejutan listrik dalam tubuhnya. Itu Pipit dengan seragam sekolah yang dibalut kardigan merah muda. "Ma-maaf, tadi nggak sengaja kedorong. Itu ... dari samping," ujar Lingga seraya menunjuk arah kirinya.

Bener nggak ini orangnya? tanya Lingga dalam hati, mungkin dia belum sepenuhnya terbangun dan berujung salah orang lagi. Jadi dia memejamkan mata sejenak, lalu membuka mata. Rasanya Lingga ingin meloncat karena benar itu Pipit! Pipit yang sudah lama tidak ia jumpai.

Anjir, anjir, anjir! Gue harus gimana? Lingga mendadak panik. Bersamaan itu, kereta mulai berjalan dan gerutuan penumpang perlahan berhenti. []

Pesan: Boleh Minta Kontaknya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang