[Dari Lingga-9]

113 43 6
                                    

makan malam, tawaran, dan keputusan

Obrolan Fadil dan Arham memengaruhi Lingga. Lingga salah karena tak segera memikirkan kehidupan setelah lulus nanti. Apalagi cowok itu telah lulus LSP—Lembaga Sertifikasi Profesi sejak bulan Desember lalu.

Menurut Lingga, memikirkan masa depan adalah hal rumit yang perlu dilakukan oleh anak kelas 12. Itu adalah keputusan besar. Banyak kemungkinan yang muncul di benaknya jika dia salah mengambil keputusan.

Atau sebenarnya ... Lingga menolak memikirkan hal itu sampai dia mendengar obrolan kedua temannya. Lingga sadar kalau kelulusan sudah mendekat dan mau tidak mau dia harus segera mengambil keputusan.

Lingga tinggal di rumah neneknya masuk SMA. Kedua orangtuanya telah bercerai dan hak asuh jatuh ke tangan sang Ayah. Namun, bisnis Ayah Lingga semakin berkembang dan membuatnya sering ke luar kota untuk survei. Akhirnya, Lingga dititipkan pada nenek dari pihak ayah yang tinggal sebatang kara.

Nenek Lingga tentu saja senang karena ada kegiatan tambahan di usia senja; merawat Lingga.

"Nek," panggil Lingga ketika neneknya sedang sibuk menggoreng tempe di dapur, tak jauh dari meja makan.

"Apa?" respon nenek tanpa menoleh ke Lingga.

Lingga menopang pipi lalu memutar-mutar garpu yang tadinya tergeletak di piring. Sudah sangat telat berdiskusi tentang mau-kuliah-atau-kerja ke sang Nenek. Perkataan Arham tadi pagi benar; Lingga belum menentukan pilihan padahal sebentar lagi lulus—atau yang paling dekat USBN tinggal tiga hari lagi.

"Mau ngomong apa?" ulang Nenek Lingga sambil meletakkan sepiring tempe penyet di sebelah piring berisi dua potong ayam goreng.

"Nek, kalau Lingga kerja gimana?"

Bukannya membalas, ibu dari pihak ibunya malah berbalik tanya. "Bukannya Lingga teh udah kerja?"

Lingga spontan menepuk dahi. Lupa kalau ingatan neneknya, yang akan berumur 72 tahun itu, tidak sejelas saat masih muda. "Lingga belum lulus atuh, Nek."

"Kapan kamu lulusnya?" tanya sang Nenek lagi. Beliau duduk di kursi, bersebrangan dengan Lingga. Kemudian tangan kanannya memegang centong nasi dan mulai mengambil nasi dari periuk yang mengeluarkan uap panas.

"Bulan Juni?" jawab Lingga ragu karena belum ada pengumuman wisuda dari sekolah. "Jadi gimana, Nek?"

"Gimana apanya? Kalau kamu lulus? Nenek mah seneng-seneng aja."

"Ih, bukan itu, Nek," ucap Lingga setengah geregetan karena harus mengulang pertanyaannya. "Gimana kalau Lingga kerja?"

"Juni teh ... tinggal dua bulan lagi, ya?" Nenek Lingga berhenti mengambil nasi, namun beliau langsung sadar akan sesuatu. "Eh, Lingga belum nyari kerja? Yang bolak-balik ke studio foto bukannya kerja?"

Lingga meletakkan ayam goreng di piringnya. "Itu mah PKL, Nek. Tahun lalu, pas Lingga kelas 11," jelasnya. Kegiatan PKL Lingga bisa dibilang menyenangkan. Pasalnya, karyawan studio foto tempat Lingga PKL, sangat ramah. Beberapa kali Lingga diajak ke kafe usai pulang kerja. Lalu, selama PKL pula mereka banyak membantu Lingga dalam menjalani tugas.

Kenapa nggak nanya lowongan kerja di sana aja, ya?

"Hahaha." Sang Nenek tertawa seraya mengambil sendok. "Aduh, nenek lupaan sekarang."

"Jadi gimana, Nek, kalau Lingga kerja?" ulang Lingga kesekian kalinya.

"Ya udah, kerja aja," balas nenek singkat. Lingga mengangguk paham. Nanti malam dia akan bertanya pada salah satu karyawan di studio foto Oracle Studio, tempat Lingga PKL. Kalau ternyata di sana tidak ada lowongan, paling ujung-ujungnya Lingga akan terjun ke bisnis ayahnya.

***

Hari ini adalah hari kedua USBN dan pesan Lingga masih belum mendapat tanda centang biru oleh kenalannya. Sempat terlintas di pikirannya kalau nomer Bang Reza—salah satu karyawan di Oracle Studio telah berganti. Lingga tiba-tiba menyesal karena tidak menyimpan kontak karyawan yang lain.

Ketika Lingga sibuk mengulas materi untuk USBN besok, mendadak ponsel Lingga bergetar di sudut meja belajar. Ada panggilan masuk. Matanya membuka sedikit lebih lebar saat melihat siapa yang meneleponnya. Itu Bang Reza.

"Woi, Ga! Maaf yak, HP gue baru kelar di-servis," sembur Reza begitu Lingga menerima panggilan.

"Kenapa, Bang?" tanya Lingga. Dia harap kalau tujuan Reza meneleponnya tentang lowongan kerja di Oracle Studio.

"Lo nanya lowongan kerja di Oracle?" tanya Reza to the point. "Gua udah resign dari bulan Januari."

Jantung Lingga terasa seperti akan jatuh. Ya kalo gitu ngapain telepon gue?? "Oh, kirain Bang Reza masih di Oracle."

"Gua ada tawaran, Ga," ujar Reza terdengar sengaja menggantung pembicaraan.

Dahi Lingga berkernyit. "Tawaran apa, Bang?"

" Abis resign, gua join di usaha vendor yearbook punya temen. Nah, kita kekurangan orang yang bisa desain grafis—lo pasti bisa, kan? Mau join, nggak? Masalah duit ... bisa lah ntar dibahas lebih lanjut. Tapi buat anak SMK kayak lo cukuplah. Gimana?"

Lingga mengeratkan genggamannya pada ponsel. Dia tidak suka mengambil keputusan dengan cepat seperti ini. Seketika kepalanya mulai berat. Perasaan khawatir dan takut mengambil keputusan yang salah mulai menyeruak ke benaknya.

Tapi sesekali salah nggak apa-apa, kan?

"Mau," jawab Lingga. Dia pikir tidak apa-apa kalau salah mengambil pilihan. Bukannya kita bisa belajar dari kesalahan?

Termasuk kesalahan lo di mata Pipit.

Bang Reza terdengar senang saat Lingga mengiyakan tawarannya. Sebelum mengakhiri panggilan telepon, dia mengatakan kalau Lingga bisa bertemu dengan pemilik vendor yearbook itu usai ujian nasional. Bang Reza berjanji akan menghubunginya saat itu.

Ponsel kembali diletakkan seperti semula. Seingat Lingga, tawaran Bang Reza tadi adalah keputusan penting yang paling cepat ia putuskan.

Lingga penasaran akan mengarah ke mana keputusannya ini.[]

Pesan: Boleh Minta Kontaknya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang