Selamat membaca ❤️
.
.
.Kecewa. Aku tidak tahu kenapa rasa itu seolah tidak mau lepas dari setiap perjalanan hidup yang kulalui. Rasa kecewa dengan berbagai bentuk dan rasa yang berbeda—mungkin—telah benar-benar kurasakan sepanjang hampir dua puluh satu tahun eksistensiku di dunia ini. Bahkan hingga aku kadang berpikir bahwa mungkin aku hidup memang hanya untuk kekecewaan. Seperti pagi ini, di mana satu bentuk kecewa juga kualami.
Yeah, kamu tahu? Bentuk kecewa yang kudapatkan selama hampir sepuluh bulan ini, dari seorang gadis remaja yang kusayamgi dan menjadi tujuan aku tetap bertahan dari kerikil dunia saat ini. Kamu pasti tahu siapa dia, kan?
"Kinan baru saja pulang kemah. Capek. Kalau mau ngomong, sama Paman saja nanti. Kinan mau tidur. Jangan ganggu!"
Aku tidak yakin bahkan setelah mendengar kalimat dengan nada yang dingin dan tak acuh itu, aku bisa tetap menyunggingkan senyum. Senyum sok baik-baik saja dan memaklumi sikapnya. Fakta bahwa aku --dengan sifat cengeng dan mudah sakit hati selalu menempel padaku-- mempersilakan dia berlalu meninggalkanku termangu sendiri di ruang tamu, benar-benar membuatku berpikir bahwa kepribadianku perlahan berubah seiring waktu. Dan dia juga berubah. Hubungan ini sepertinya sangat sulit diperbaiki, melenceng jauh dari pemikiranku.
Jika bisa ingin sekali aku berteriak dan menumpahkan segala keluh kesah yang menumpuk dalam dada, kepadanya. Aku rela setiap hari berdiri selama hampir delapan jam berhadapan dengan mesin-mesin produksi, bahkan sering lembur sampai pukul delapan malam hanya agar mendapatkan gaji lebih.
Aku korbankan kesempatan untukku bisa melanjutkan kuliah di kelas karyawan—beberapa teman kerjaku, bahkan Nugi pernah menawari itu—hanya agar uang kuliahku bisa dipakai untuk uang jajan dia setiap hari dan tidak terlalu berbeda dengan teman-teman sekolahnya.
Di akhir pekan seperti ini—saat-saat yang seharusnya kumanfaatkan untuk beristirahat penuh setelah bekerja lima hari dalam sepekan—justru kugunakan untuk mengunjunginya, dan apa yang kudapat? Sikap dingin seperti itu? Bahkan jarak rumah ini dari kontrakanku cukup jauh—dua puluh menit jika menggunakan sepeda motor dan akan lebih lama lagi jika menggunakan bus—tapi aku tetap datang.
Tidak tahukah dia bahwa sering aku menahan lapar—makan nasi hanya sekali dalam sehari—di tanggal-tanggal tua hanya agar bisa menyimpan uang transportasi, juga bisa menyisihkan sebagian besarnya untuk SPP per bulan, juga kebutuhan sekolahnya yang lain?
Hanya demi dia, agar tidak dipermalukan teman-temannya karena keadaan ekonomi kami—sebab aku tahu sebelum Ayah melakukan hal buruk itu, kami terbiasa mendapatkan segalanya tanpa susah payah—dan agar dia tidak didiskriminasi oleh mereka. Tapi apa yang kudapat? Hanya kecewa. Seolah semua pengorbananku tak berarti di matanya. Ingin ku teriakkan semuanya yang menjadi bebanku, kepadanya yang merupakan satu-satunya keluarga yang harus kujaga.
Tapi sayangnya aku tak bisa. Alih-alih mengeluh, aku malah selalu memaklumi sikap dingin yang dia berikan tiap kali aku datang. Aku tak mungkin membeberkan setiap kesulitanku selama ini kepadanya yang usianya saja bahkan baru akan menginjak angka tiga belas.
Segala yang terjadi pada hidup kami --yang merubah posisi roda kehidupan kami-- saja sudah sangat melemahkan mentalnya. Dan aku tidak bisa menambah beban pikirannya dengan mengatakan kesusahanku selama ini. Terlebih dari itu semua, aku sadar sesadar-sadarnya bahwa perubahan sikapnya itu disebabkan oleh apa yang kulakukan sepuluh bulan yang lalu. Itu salahku, dan aku tidak akan mengelak.
Dan hanya beginilah yang aku lakukan sekarang. Duduk termangu, meremas jemari yang saling bertautan, memandangi cangkir berisi teh hangat yang tadi sempat disajikan oleh Tante Eni.
Jangan harap Tante Eni akan menemaniku di ruangan ini, menanyakan bagaimana hari-hariku seminggu belakangan apalagi sampai berbicara ngalor ngidul tak karuan layaknya bibi-keponakan. Tidak ada yang seperti itu. Ketidaksukaannya padaku ditunjukkannya dengan terang-terangan, sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar dalam otakku hingga detik ini. Maksudku, tentang alasan dia sangat tidak menyukaiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seni Aklimatisasi (Repost)
General FictionSetelah Indra terjerat kasus korupsi, Rain tahu hidupnya tidak akan sama lagi.Tidak ada yang tersisa di hidupnya. Rumah dan aset-aset mereka disita. Ia dan Kinan-adiknya-harus pergi dari rumah yang menjadi saksi masa kecil mereka. Dibenci semua oran...