SA 13

539 92 5
                                    

Selamat membaca ❤️
.
.
.

Suara adzan isya terdengar dari arah selatan. Bukannya bergegas bangun dari tempat tidur, aku malah hanya mengerjap-ngerjapkan mata sambil memeluk kedua tangan. Kupandangi langit-langit kamar yang tampak berputar-putar dan seperti hampir terjatuh menimpa kepala.

Kelopak mataku terasa panas. Tak jauh beda dengan udara yang keluar dari hidung, juga mengeluarkan hawa panas yang membuat tidak nyaman. Seluruh persendian di tubuhku rasanya remuk, nyeri dan pegal. Seperti aku baru melakukan pekerjaan yang amat berat. Dan kepalaku terasa amat pening, hingga rasanya sulit sekali untuk diangkat.

Semua ini bukan beberapa menit ini kualami, tapi sudah selama lima hari terakhir. Hari pertama mengalami gangguan ini saat di tempat kerja, di mana tiba-tiba aku merasa pusing sekali waktu masih jam kerja. Tapi itu kuabaikan karena kupikir aku hanya sedikit kelelahan. Hari kedua dan ketiga, badanku lemas dan suhu tubuhku meninggi. Masih tak kuhiraukan. Aku tetap berangkat kerja. Lagipula kupikir itu wajar karena kebanyakan orang juga tengah mengalami itu, akibat pergantian cuaca dari musim hujan ke musim kemarau.

Gejalanya pun sama seperti kebanyakan orang, demam, meriang dan pusing. Aku hanya minum parasetamol seperti hari-hari sebelumnya.

Hingga pagi tadi, kondisi tubuhku makin ke sini makin buruk. Seluruh persendian terasa lemas dan otot-otot dalam tubuh rasanya seperti copot dari tulang. Tapi aku masih tetap bekerja, meski pada akhirnya leaderku berulang kali menegur karena aku tidak fokus bekerja. Selama seharian aku terus menahan sakit, berharap bisa menyelesaikan pekerjaan sampai jam kerja selesai. Untungnya tidak ada jadwal  lembur sehingga aku bisa langsung pulang tepat pukul lima sore tadi.

Aku mendesah pelan saat melirik pakaian yang kukenakan. Kemeja sesiku berwarna biru langit dan celana bahan berwarna hitam yang kupakai ini adalah seragam pabrik. Tadi sesampainya di kontrakan, aku langsung tertidur tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Bahkan aku sampai lupa belum mengerjakan shalat maghrib dan sekarang malah sudah waktunya shalat isya.

Aku mengembuskan napas berat, berusaha bangkit dari posisi tidurku. Menolehkan kepala ke samping kiri tepat di samping kasur lantai, aku menghela napas. Sterofoam berisi bubur ayam dan sebotol air mineral masih utuh di dalam plastik. Tadi aku memang menyempatkan untuk membeli makanan, meski sebenarnya aku ragu untuk memakannya. Aku sama sekali tak punya nafsu makan sejak pagi tadi.

Mengabaikan makanan yang tergeletak begitu saja itu, aku bangkit dan berjalan tertatih menuju kamar mandi. Badanku menggigil kedinginan saat air keran membasahi telapak tangan. Aku benar-benar menyedihkan sekarang. Tapi aku tidak bisa memanjakan diri, setidaknya aku harus tetap menyelesaikan wudhuku dan shalat sebelum melanjutkan tidur lagi.

Aku baru selesai berdoa setelah shalat, saat tiba-tiba pintu kontrakan diketuk pelan. Aku menghela napas, lalu melipat mukenaku waktu pintu diketuk lagi. Jarang sekali aku menerima tamu sejak awal tinggal di kontrakan ini, apalagi malam hari seperti ini.

Maklumlah, aku sama sekali tidak akrab dengan teman-teman kerjaku. Tamu yang memungkinkan datang hanya anak-anak rumah singgah, itu pun mungkin hanya Bayu atau Gita saja. Dan mereka biasanya datang saat aku minta, kalau kebetulan aku tidak bisa mampir ke rumah singgah padahal ingin menitipkan sesuatu.

"Mbak!" Suara Bayu, disusul ketukan yang lebih keras di pintu membuatku segera bangkit.

Berpegangan pada dinding, aku melangkahkan kaki ke arah pintu. Rasa pusing tiba-tiba menyergap lagi saat tiga langkah lagi kenop pintu berhasil kuraih. Kusandarkan sejenak badan di dinding, sambil memijat-mijat pelipis dengan telapak tangan.

"Mbak Rain! Mbak di dalam kan?" Bayu setengah berteriak. "Mbak nggak apa-apa, kan?"

Aku menghela napas, lalu melangkahkan kaki lagi. Kuputar kunci pintu, dan wajah Bayu langsung kulihat begitu aku membuka pintu. Tatapanku baru saja bertubrukan dengan tatapan seseorang yang berdiri di samping Bayu, saat tiba-tiba rasa pening kembali menyerang kepalaku. Mataku berkunang-kunang dan pandanganku kabur. Semakin lama badanku semakin ringan, seperti terangkat dari gravitasi bumi.

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang