SA 11

453 90 3
                                    

Selamat membaca ❤️
.
.
.

Matahari sudah pulang ke peraduan saat aku turun dari bus, membawa beberapa kantong plastik di kedua tangan. Jalanan ramai oleh para pejalan kaki, kebanyakan para karyawan yang baru pulang dari tempat kerja, sama sepertiku.

Lingkungan tempatku tinggal memang sebagian besar adalah para perantau yang mencari rezeki di kota ini, menyewa kontrakan kecil yang harganya tidak terlalu mencekik dompet. Sebagian perantau hanya bekerja, tapi tak sedikit juga yang bekerja sambil kuliah. Ini yang membuatku merasa sedikit iri, bahwa mereka bisa tetap berkuliah di akhir pekan setelah lima hari sebelumnya dihabiskan di tempat kerja.

Tapi aku tidak punya kesempatan itu. Aku masih punya tanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan sekolah Kinan, termasuk kebutuhan Kinan di klub melukis. Ya, dua bulan belakangan ini Kinan masuk ke klub melukis yang diadakan sekolahnya. Bersama Naya juga. Kinan memang bermimpi menjadi seorang pelukis, dan aku tidak ingin dianggap menghambat mimpi dengan tidak mendukungnya. Jadilah aku membiarkan apa pun yang diinginkannya, selama itu masih bersifat positif.

Aku memutuskan untuk tidak pulang dulu, tapi langsung ke rumah singgah. Belakangan ini aku tidak bertemu anak-anak dan Mamak, sejak terakhir kali di mana aku pulang dari berdamai dengan Ayah dan langsung menceritakannya pada Mamak. Dua minggu ini aku kebagian shift pagi dan sering pulang malam karena lembur lalu langsung tidur sesampainya di kontrakan, sehingga belum sempat ke rumah singgah. Jadi mumpung hari ini aku tidak lembur, aku memutuskan untuk ke sana. Aku sudah rindu celotehan Itok, mengenai hari-harinya di sekolah atau di jalan saat mengamen.

"Mbak Rain!"

Aku tersenyum lebar melihat Itok berlari menghampiriku yang memasuki halaman rumah singgah. Anak itu hari ini memakai celana selutut berwarna coklat dan kaus bergambar Minion yang gambarnya sudah sedikit pudar. Rambut ikal anak itu bergoyang-goyang saat dibawa berlari, dan dari tetesan air dari rambutnya, aku tebak pasti dia habis mandi.

"Hei," sapaku.

"Mbak Rain jarang ke sini," ucap Itok sambil cemberut.

"Iya, maaf ya. Mbak lembur terus sih." Aku mengajaknya masuk, "Yang lain di mana?"

"Di belakang," jawabnya.

"Kita lewat samping saja, yuk."

Kami langsung berjalan melewati pekarangan samping, yang langsung terhubung ke halaman belakang. Dan benar saja, beberapa anak sedang bermain di halaman belakang.

"Anak-anak!" seruku, membuat mereka menoleh dan langsung memanggilku antusias. Aku mengangkat kantong plastik di kedua tangan. "Mbak bawa makanan."

"Wah, Mbak Rain pasti habis gajian, ya?" tebak Gita.

Aku tertawa, lalu meminta mereka membawa kantong-kantong plastik itu masuk. Kusisakan satu kantong plastik berisi bahan makanan untuk kuberikan pada Mamak. Masih tersenyum simpul, aku mengikuti anak-anak masuk melalui pintu belakang. Anak-anak langsung ke ruang depan, sementara aku berhenti di dapur menghampiri Mamak yang menyapaku. Aku mencium punggung tangannya, lalu meletakkan kantong plastik di tanganku ke atas dipan.

"Kenapa beli makanan segala? Harusnya uang gajian kamu itu ditabung," ucap Mamak, sambil menghela napas pelan.

"Tidak apa-apa, Mak. Yang ditabung sudah ada kok."

"Tapi kan kamu tidak perlu membelikan anak-anak makanan tiap kali gajian. Sayang uangnya."

"Buat adik-adik sendiri kok sayang," sahutku, yang dibalas tepukan pelan di lengan.

"Keras kepala!" seru Mamak.

Aku menyengir, mengusap-usap lengan Mamak. "Rain masuk dulu ya, Mak."

Mamak mengangguk. Aku segera menuju ruang depan, menghampiri anak-anak yang sedang berceloteh ruang. Sepertinya kakak-kakak mahasiswa mereka juga baru datang, terdengar dari teriakan Bayu yang memanggil nama mereka. Dan benar saja, sesampainya di ruang depan mereka tampak sedang duduk berkumpul di atas tikar.

Seni Aklimatisasi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang