+66

1.3K 127 10
                                    

Tine buru-buru menuruni tangga apartemennya. Semalam saat yang kelima kalinya mengantar Tine pulang (iya, Tine menghitungnya. Masalah?), Sarawat berjanji akan menjemputnya untuk berangkat ke kampus bersama jalan kaki. Meski dekat, Tine selalu ke kampus dengan mengendarai mobilnya. Khusus untuk hari ini, ia rela berjalan.

Sarawat bilang akan menjemputnya lebih pagi karena ia ingin membawa Tine sarapan ke kantin Fakultas Kedokteran yang menurut Sarawat makanan di sana enak - enak. Tine memang belum pernah kesana karena anak FK di kampus mereka terkenal snob. Tapi karena Sarawat yang mengajak, tentu saja ia mau. Tapi Sarawat tidak perlu tau tentang itu.

Saat sampai di lantai dasar Tine menarik nafas panjang untuk menormalkan detak jantungnya yang berdetak kencang sehabis kardio menuruni tangga. Ia berjalan keluar gedung dengan santai, seolah tidak habis berlari takut membuat Sarawat menunggu terlalu lama.

"Ehem."

Sarawat yang sedang berdiri di depan gedung membelakangi Tine menoleh. Tampang kesalnya sedikit berubah menjadi cerah melihat keberadaan Tine.

"Naik apa kesini?" Tanya Tine. Ia tidak tau dimana rumah Sarawat. Bisa saja rumahnya jauh.

"Nebeng motor Phukong" Jawab Sarawat pendek. "Adikku." Lanjut Sarawat menyadari tampang bingung Tine saat mendengar nama Phukong.

Tine mengangguk lalu jalan menuju kampus, diikuti oleh Sarawat. Masuk akal jika Sarawat ikut adiknya, jam segini barengan dengan jadwal berangkat anak SMA.

Setelah beberapa hari mengenal Sarawat, Tine mengerti bahwa memang watak dan gaya bicara Sarawat seperti itu. Pendek, padat, dan jelas. Mungkin orang akan salah paham dan mengira bahwa ia marah, ditambah lagi dengan resting bitch face yang terpatri permanen di wajah cowok itu. Padahal memang gayanya seperti itu.

"Berarti pulang kerja kau juga dengan adikmu?"

"Bus." Jawab Sarawat. "Kadang temanku yang mengantar." Sarawat melirik Tine yang berjalan di sebelahnya. "Aku tidak keberatan kalau kau mau mengantarku." Tawar Sarawat dengan sebelah alis terangkat. "Kau bahkan bisa mampir kalau kau mau."

"Ck." Tine hanya menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Nanti kau pulang jam berapa?"

"Kelasku selesai jam 3. Tapi aku ada latihan cheer sampai jam 6."

"Kau ikut cheer?" Tanya Sarawat terdengar terkejut, membuat Tine defensif. Ia memicingkan matanya pada cowok itu.

"Ada yang salah denganku menjadi cheer?" Tanya Tine dengan nada menuduh. Ekspresi terkejut tak berubah, ia tak terpengaruh dengan nada bicara Tine.

"Kenapa aku tak pernah melihatmu?"

"Huh?" Sekarang Tine bingung. Tadi ia menangkap reaksi Sarawat negatif. Tapi sepertinya salah.

"Aku pemain bola inti fakultas. Tapi aku tak pernah melihatmu."

Ah. Tine telah salah menilai Sarawat. Ia pikir Sarawat judgemental, tapi ternyata ia murni terkejut.

"Mungkin karena fakultasku tidak pernah melawan fakultasmu."

"Kami pernah sekali melawan Fakultas Hukum. Kalian kalah." Ungkap Sarawat sombong, membuat Tine memutar bola matanya. "Ingat?"

"Mungkin waktu itu aku tidak ikut." Sekarang Tine menyesal pernah bolos cheers. Seandainya setiap ada fakultasnya bertanding ia selalu datang, ia bisa lebih cepat bertemu dengan Sarawat. "Aku juga belum masuk tim cheers kampus."

"Masuk akal." Sarawat mengangguk. "Seandainya tim fakultasmu tidak terlalu payah, kita pasti bisa bertemu lebih awal."

Tine mendelik pada Sarawat. Benar sih yang dikatakan Sarawat. Fakultas Hukum beberapa kali bermain tapi selalu gugur di babak awal. Seandainya mereka bermain lebih baik, ada kemungkinan mereka akan bertemu dengan FISIP lagi.

What's Your Size?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang