Nuisance

883 105 22
                                    

Tine menghentikan mobilnya tepat di sebelah Sarawat yang sedang berjalan menenteng gitar.

Sarawat yang mengenali mobil itupun berhenti berjalan. Menunggu si pemilik  mobil membuka jendelanya untuk menyampaikan niatnya.

"Mau kemana? Masuklah, aku akan mengantarmu."

Oh God finally finally tou have mercy for me. Gerutu Wat dalam hati.

Mana mungkin Sarawat menolak tawaran yang meringankan beban hidupnya.

Setelah semalam menjadi budak Phukong yang rewel karena bekas operasi di perutnya gatal (demi Tuhan jika Wat punya uang Wat akan menuntut rumah sakit itu) sambil mengerjakan makalah dan belajar untuk kuis hari ini, Wat benar-benar lelah secara psikis. Ia merasa berhak mendapat tumpangan dari Malaikat.

Baru kali ini Sarawat merasa bersyukur telah dicampakkan kedua sahabatnya. Dengan begitu, ia bisa berduaan dengan sang malaikat pujaan hati.

Just wait, jika Sarawat sudah mendapatkan kembali kemenangannya dalam balapan, kedua sahabatnya itu tidak akan ikut merasakannya.

Wait,

No.

Sarawat sudah berhenti balapan. Ha ha.

Ya, mungkin ia bisa balapan, asal orangtuanya tidak tau.

"Aku tidak tau kau bisa bermain gitar." ucap Tine saat Sarawat sudah menyamankam diri di dalam mobilnya.

"Bandku sering bermain di L Co Hol."

"Benarkah? Aku tidak pernah melihatmu."

Sarawat mengangguk. "Mungkin kita berselisih waktu."

"Mungkin." Gumam Tine. "Jadi kau mau kemana? Aku akan mengantarmu." ulang Tine.

"Toko alat musik." Jawab Sarawat. "Aku ingin menjual gitarku."

"Hah? Kenapa memangnya? Apa kau akan berhenti bermain?"

"Untuk membayar biaya rumah sakit Phukong. Bocah sialan." Jawab Sarawat.

Semoga saat orang tuanya kembali, gitar kesayangannya ini belum terjual dari toko, sehingga ia bisa membelinya kembali. Itupun jika orangtuanya berbelaskasihan mau mengganti biaya rawat Phukong.

Meski bagaimanapun, Nuisance sudah seperti anaknya sendiri. Ia akan menjual anaknya dengan pembenaran bahwa Malika juga dijual oleh orangtuanya. Setidaknya ia tidak terlalu merasa bersalah.

Wat pernah mendengar cerita menyedihkan tentang Malika dari mantannya yang berasal dari negara tetangga. Jika mereka menganggapnya seperti anak sendiri, tega-teganya mereka menjual Malika. Sigh, Sarawat jadi sedih mengingat cerita itu.

Tine memandang Safawat dengan iba. "Jika ada yang bisa kubantu, katakan padaku, Wat."

Ingin sekali Tine menawarkan uang. Tapi ia tidak ingin terkesan merendahkan cowok tampan itu.

"Hm, kurasa aku masih bisa mengatasi. Gitarku ini cukup mahal. Cukuplah untuk membayar ruang VVIP Phukong."

Tine mengangguk. Ia sangat salut pada Sarawat. Tapi bukan berarti ia tidak menganggap Sarawat tidak bodoh. Kenapa juga ia memasukkan adiknya ke ruang VVIP jika ia kesulitan finansial.

"Kami tak selalu sesusah ini. Aku tidak berfikir panjang saat mengisi form administrasi Phukong. Centang sini centang sana tanda tangan. Aku lupa kalau sekarang orang tua kami sudah meninggalkan kami." Ungkap Sarawat. "Sialan memang mereka. Pergi tanpa meninggalkan sepeser uangpun."

Mendengar perkataan Sarawat, Tine menjadi semakin iba. Ia salut pada Sarawat yang rela bekerja sebagai kasir ditambah manggung di kafe demi membiayai hidupnya dan adiknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

What's Your Size?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang