[Dear Home] Tempat Tinggal (2).

27 4 3
                                    

"Mungkin begitulah takdir bekerja. Ia mengumpulkan potongan-potongan puzzle yang terpecah, menyusunnya menjadi sesuatu yang utuh. Bukan hanya utuh, tapi juga menjadi sesuatu yang berguna."

–Charta Dewandaru


***


Kelas sepuluh semester dua menjadi masa terberat bagi Angga. Nenek yang selama ini tinggal bersamanya meninggal dunia menyusul kakeknya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Rumah yang Angga tinggali pun jadi sepi karena hanya ada Angga.

Sejak lahir Angga memang hidup bersama Kakek dan Neneknya. Ibunya meninggal ketika melahirkan Angga, sedangkan ayahnya jelas tidak bisa mengurus Angga sendirian.

Kakek dan Neneknya dari pihak ibu menawarkan untuk merawat Angga, jadilah Angga tinggal bersama mereka sejak kecil sampai sekarang. Bahkan ketika ayahnya menikah lagi dan mempunyai ibu baru untuk Angga, ia tetap memilih tinggal bersama kakek-neneknya.

"Lo tinggal sendirian dong?" tanya Jeka ketika mereka sedang berkumpul di kantin.

"Enggak. Kemarin setelah Nenek meninggal gue pulang ke rumah Ayah." Angga terdiam ketika menyadari ia menyebut kata 'pulang'.

Bagaimana bisa ia mengatakan pulang padahal dia sendiri tidak pernah menganggap rumah itu tempat untuk pulang? Hanya sekedar rumah tempat Ayah dan keluarga Ayahnya tinggal.

"Nggak kejauhan sama sekolah?" Giliran Yogi yang bertanya.

Awan, Dhika dan Jef yang sedang makan ikut menyetujui.

"Gue mikirnya juga gitu, tapi Mama nggak ngebolehin gue tinggal sendiri."

Lagi-lagi Angga dibuat terdiam oleh perkataannya sendiri. Mama katanya. Sejak kapan Angga bisa menyebut 'Mama' seolah-olah itu memang mamanya?

Hubungan Angga dan istri ayahnya memang tidak terlalu akrab. Bukan hanya dengan istri ayahnya saja, bahkan dengan ayah dan juga adik perempuannya pun Angga tidak akrab sama sekali.

"Ngekos di tempat gue aja gimana?" Usul Jeka.

Mendengar hal tersebut Jef spontan memukul meja, mengagetkan teman-temanya. "Nah, ide bagus tuh."

"Iya, Ngga. Setidaknya lo ada teman," tambah Awan.

Angga masih diam mempertimbangkan. "Gue tanya bokap dulu."

"Di kosan lo boleh bawa cewek nggak, Jek?" tanya Jef yang mulai tertarik dengan ide untuk tinggal di kosan.

"Boleh. Bebas banget malah."

Jef lagi-lagi memukul meja. "Nah, sip kalo gitu. Gue pindah ke kosan lo ya?"

Mendengar ucapan Jef, Dhika yang duduk di sebelahnya tergerak untuk menjitak kepala Jef. "Maksiat mulu pikiran lo, tobat woy!"

"Punya wajah ganteng, banyak duit, buat apa kalo nggak dimanfaatin?"

"Huuuuuu." Jef mendapat sorakan protes dari teman-temannya.

"Gue ikut lo, Jek. Seriusan ini." Jef kembali membahas rencana untuk ngekos.

Jeka meneguk minumannya sebelum menjawab. "Yakin lo? Gue ingetin ye, di kosan nggak ada AC, nggak ada kulkas juga, apalagi shower sama air panas. Tidurnya juga cuma pakek kasur lantai, kagak ada tuh spring bed."

"Yakin gue. Yang penting gue bisa ngerasain hidup bebas."

Seminggu setelahnya Jef benar-benar pindah ke kosan Jeka. Angga masih belum boleh nge-kos, dia disuruh tinggal di rumah Ayahnya selama sebulan dulu, setidaknya sampai Angga sudah tidak berduka.

Dear Home || 97'LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang