16: Awal mula kisah mereka

2.4K 201 34
                                    

Deru mesin patient monitor itu terdengar nyaring di seluruh penjuru ruangan. Meski suara itu sudah tidak asing bagi Namira, tapi ia tetap merasa risih dengan suara itu.

Tatapan nanarnya kini tertuju pada seseorang yang tengah terbaring di ranjang dengan ventilator yang terpasang di mulutnya lengkap dengan alat-alat medis yang hingga kini tidak ia ketahui namanya. Wajah pucat dengan mata terpejam itu sukses membuat pertahanannya runtuh. Ia kini menangis sambil menggenggam sesuatu yang belum lama ini diberikan oleh Nathan padanya.

"Dhit," panggilan lirih itu terdengar di sela isak tangisnya.

"Kenapa kamu sebaik itu sama saya? Padahal saya udah--"

Tiba-tiba terdengar suara lenguhan tertahan bersamaan dengan bibir Dhito yang bergerak tak nyaman.

"Nghhh,"

"Dhit! Dhito?!" Namira sigap mendekat hingga mata Dhito membulat sempurna saat menemukan sosok Namira persis di hadapannya.

Detik berikutnya ia tarik selimut itu dan berusaha menutupi wajahnya.

"Nghhh..nghhh.." melihat apa yang Dhito lakukan, Namira akhirnya menyadari bahwa laki-laki itu tidak mau terlihat menyedihkan di hadapannya.

"Saya menerima kamu apa adanya, Dhit. Saya juga gak peduli apapun kondisi kamu." ungkap Namira sambil meraih selimut itu perlahan dan membenarkan kembali posisinya.

Jawaban itu tentu membuat Dhito terkejut, namun setelahnya ia sadar semua ini adalah salah. Tangan Dhito secara tiba-tiba meraih benda yang ada di mulutnya dan--

"Uhuk..uhuk..uhuk.." suara batuk itu terdengar setelah Dhito berhasil melepas paksa benda itu dari mulutnya.

"Dhito!? Kamu udah gila ya?" Namira sangat terkejut dengan aksi cepat Dhito.

Namira mencoba meraih punggung Dhito berniat untuk meredakan batuknya, namun Dhito dengan kasar menepis tangan Namira dan memintanya menjauh.

"Pergi," lirihan itu terdengar di sela kegiatan Dhito membenahi kondisinya.

"Tapi, Dhit--"

"PERGI!" nada suara Dhito meninggi, wajahnya kini merah padam dan disusul dengan suara nafasnya yang mulai terdengar aneh.

"Dhito, maafin Nana." wajah bersalah itu tergambar jelas pada Namira.

"Kamu gak salah, Na. Saya yang salah udah--hhhhh--" ucapan Dhito terjeda dan kini ia justru sibuk memukul kuat dadanya yang terasa sesak.

"Lebih baik--hhhh--kamu pergi--" Dhito bangkit dari rebahnya dan berusaha memunggungi Namira agar gadis itu tak melihat kondisi mirisnya.

Namira akhirnya pasrah, segera ia letakkan benda itu di meja dekat ranjang Dhito dan berniat menuruti permintaan Dhito padanya.

"Saya kesini untuk ngembaliin priority card yang kamu titip ke Nathan, saya gak berhak atas benda itu setelah semua yang udah saya lakuin ke kamu, dan--"

"Hhhh--saya udah gak butuh--hhhhh--benda ituhhhh--"

"Maksud kamu apa, Dhit?"

"It's none of your bussiness!" tegas Dhito, ia kembali meminta Namira pergi dan membawa priority card itu bersamanya.

"Tapi, Dhit--"

"Jika--hhhh--kamu gak ingin--hhhh--melihat saya mati konyol--"

"Cepat pergi dan--hhhh--panggil Dokter Dinata--" mendengar itu, Namira akhirnya bergegas keluar. Detik berikutnya Namira menghardik semua kebodohannya yang justru menyia-nyiakan waktu bukan malah bergegas memanggil dokter.

Deep BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang