17: Dibalik sebuah kesedihan

2.3K 176 11
                                    

Nathan kini duduk tertegun sambil memandangi potret usang yang diberikan oleh Dinata padanya. Ia sangat tidak menyangka bahwa sebelum ia bertemu dengan sosok yang belum pernah ia ketahui wujudnya, sang ayah justru sudah pergi meninggalkannya.

"Pa," lirihan itu sungguh menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Belasan tahun ia tidak mengetahui bagaimana rupa sosok itu, tapi kini hanya potret usang yang bisa ia pandangi.

"Kamu harus kuat ya, Nath!" usapan lembut itu terasa di salah satu sisi pundaknya. Dengan cepat ia menepis tangan itu untuk menyingkir.

"Anda gak perlu sok peduli!" ketusnya sambil berusaha membenahi tampilan kacaunya saat ini.

"Saya memang pantas mendapatkan perlakuan ini." jawaban pasrah itu terdengar disertai dengan wajah penuh penyesalan dari Dinata yang kini berdiri dekat Nathan duduk saat ini.

"MEMANG!" suara tinggi itu terdengar, derap langkah kasar Jansen pun membuat Nathan berusaha menjauh dari Dinata.

"Nathan, ayo kita pulang!" perintah Jansen tanpa basa basi, satu tangannya kini sibuk menggenggam tangan Nathan dan tangan satunya menjinjing tas berisi pakaian miliknya.

"Tapi Bang, Dhito masih--"

"Jansen, cukup! Saya mohon berhenti terus menghindar seperti ini." tiba-tiba Dinata menginterupsi. Mendengar kalimat itu, evil laugh Jansen terdengar mengerikan.

"Cih! Siapa yang selama ini bersembunyi dan menghindari semua fakta miris ini? Apa anda masih punya muka mengatakan itu semua di depan kami?" ungkap Jansen, secara terang-terangan ia munculkan tatapan kebenciannya pada Dinata.

"Bang Jansen benar! Kalo anda pikir saya bisa begitu saja menerima semuanya, anda salah besar. Jika Bang Jansen saja memiliki kebencian sebesar itu terhadap anda, maka saya tentu memiliki kebencian yang jauh lebih besar dari itu!" Nathan ikut angkat suara mengutarakan semua yang ia tahan dalam hatinya, meski sebenarnya semua itu adalah percuma, tapi setidaknya ia bisa meluapkan semua hal yang terpendam selama ini.

"Saya tidak peduli sebesar apapun kebencian kalian berdua terhadap saya. Saya hanya ingin melakukan apa yang seharusnya saya lakukan sejak dulu." terangnya sambil berusaha membuat kedua lelaki di depannya melunak.

"OMONG KOSONG!" nada suara tidak santai kembali terdengar dari mulut Jansen, dengan cepat ia tarik tangan Nathan dan mengajaknya untuk pergi.

"Tunggu!" Dinata secepat kilat berlari lalu berlutut persis di depan Jansen dan Nathan.

"Saya mohon, dengarkan ucapan saya kali ini. Saya melakukan ini demi Nathan. Saya khawatir, apa yang terjadi dengan mendiang anak saya dan juga Abraham terjadi juga pada Nathan, jadi--"

"Apa maksud anda?" tanya Jansen agak sewot, sedangkan Nathan kini hanya terdiam dengan wajah bingungnya.

"Untuk kali ini saja, saya mohon lakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Saya perlu memastikan bahwa semua dugaan saya adalah salah."

"Jadi anda pikir adik saya ini penyakitan? Dengar! Meski hidup kami sederhana, saya tidak pernah sekalipun mengabaikan kondisi kesehatan Nathan dan--"

"Apa kamu tau kalau telinga adikmu sering berdengung ketika mendengar suara patient monitor? Apa kamu tau kalau belakangan ini dia sering merasa pusing dan mual saat berada di rumah sakit? Apa kamu tau kalau kemungkinan ada--" ucapan itu sukses membuat Jansen membelalakkan matanya terkejut, semua hal itu sama sekali tidak Jansen ketahui, ia hanya tahu bahwa Nathan memiliki anemia.

"Cukup! Berhenti bersikap seolah anda mengenal saya jauh lebih dalam dibanding Bang Jansen. Bang Jansen satu-satunya keluarga yang saya punya yang tidak pernah sekalipun meninggalkan saya apapun kondisinya, dan anda justru sebaliknya?!" nada suara Nathan pun terdengar tidak santai. Ia kini tengah berusaha menutupi fakta yang memang sengaja tidak ia beritahukan pada Jansen.

Deep BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang