Bab II - Crimson Eyes (1)

71 13 8
                                    

Jules dibuat takjub oleh gerakan Yul yang tangkas. Kakinya bergerak penuh keanggunan, seperti persona seorang aristokrat yang menawan. Suara desiran pedangnya terdengar berirama seiring dengan gerakan tangannya yang menghunus udara. Tajam dan memesona.

Tadinya, Jules hendak mengambil minum. Saat tidak sengaja melihat Yul yang berlatih sendiri di belakang rumah, dikelilingi oleh cahaya obor yang disusun melingkar. Ia mengintip dari balik jendela, terkagum-kagum. Di matanya, saat ini Yul seolah penari yang menghibur malam dengan tariannya.

Kesatria itu sekarang paham alasan Putra Menteri Pertahanan berteman dengan Yul, seorang prajurit bayaran yang notabene berstatus rendah. Tidak banyak orang yang mampu membuat sebilah pedang berdesir sekencang itu hanya dengan sebuah tusukan sederhana. Yul jelas bukan pemuda biasa.

Butuh waktu seminggu bagi Jules untuk mengetahui ini. Sebab, selama empat hari ia berada di rumah itu, Yul sering kali tiba-tiba menghilang entah ke mana. Pulang hanya untuk memotong kayu dan membuat perabotan sederhana. Selain wajahnya yang selalu cemberut, pemuda itu tampak seperti tukang kayu biasa.

Tadi sore, bagai sebuah oasis di terik padang pasir, Yul mengatakan bersedia untuk pergi ke istana. Entah apa yang dipikirkannya, tiba-tiba setuju setelah berhari-hari. Jules tidak ambil pusing mengenai keputusan Yul yang mendadak, yang jelas saat ini ia sangat senang bisa menyelesaikan misinya. Tidak sabar untuk segera pulang ke rumah.

***

Frey mengemas beberapa bundelan kain berisi barang-barang, menggantungnya pada seekor kuda putih yang tampak perkasa. Hari ini ia akan ikut ke ibukota. Sebetulnya Yul melarang, tetapi ia keras kepala mencak-mencak kepada Yul untuk ikut, berjanji tidak akan berbuat nakal. Frey tahu, pemuda itu akan menuruti segala keinginannya bila ia bernazar akan menjadi anak baik.

Frey lanjut merapikan pakaiannya. Kali ini ia berdandan, memakai pakaian terbagus yang ia punya. Rompi kulit dipadukan dengan kemeja berwarna krem, celana cokelat muda, dan sepatu bot berbahan beludru dengan warna serupa membuatnya terlihat semakin manis. Rambut pirangnya yang panjang dikepang rapi ke belakang.

Yul tertawa kecil melihat Frey yang begitu semangat. Sejujurnya ia sedikit khawatir karena ini adalah kali pertama anak itu keluar desa. Sebagai seseorang yang hidup lebih lama dan berpengalaman, Yul cukup tahu bahwa perjalanan dari daerah perbatasan menuju ibu kota bukanlah jalur yang mudah dilalui oleh anak kecil. Terlalu banyak bahaya yang mengintai. Apalagi karena pemerintahan yang melemah, kriminalitas semakin timbul merajalela.

Jules dan Edward sudah siap dengan kuda masing-masing. Kuda-kuda itu mereka pinjam dari Yul-yang biaya sewanya membuat Edward murka. Mereka harus membayar sebanyak sepuluh keping emas yang setara dengan bahan makanan untuk dua bulan.

Yul menancapkan tiga bilah kayu di depan rumah sebelum menaiki kuda hitamnya. Jules yang penasaran bertanya, "Kayu-kayu itu untuk apa?"

"Sudah tradisi," jawab Yul sekenanya. Ia berjalan lebih dulu.

"Tiga buah kayu yang ditancapkan di depan rumah artinya penghuninya sedang pergi, dan akan kembali dalam jangka waktu yang lama. Itu juga sebagai tanda bagi para penagih pajak untuk menghitung tunggakkan. Jumlah kayu akan ditambah setiap bulannya tergantung berapa lama orang itu pergi," jelas Frey sambil tersenyum.

Jules mengangguk paham. Merasa lucu melihat Frey menjelaskan dengan gaya bicaranya yang khas. Anak itu gemar bercerita. Terkadang malah ia yang membantu menjelaskan saat Yul sedang irit suara.

"Oh," Yul tiba-tiba berbicara, "saat sudah di kaki bukit nanti, aku akan berpisah sebentar. Kalian terus jalan saja, aku akan menyusul."

"Master mau ke mana?"

"Ada urusan."

Frey mendengus. Tidak suka karena akhir-akhir ini Yul sering pergi tanpa memberitahu ke mana. Namun, ia tidak berani protes. Ingatan lalu akan Yul yang memarahinya dengan keras membuat Frey tidak berani berkomentar apa-apa.

***

Setelah memisahkan diri dari rombongan, Yul memacu kudanya dengan cepat memutari bukit. Pohon-pohon pinus menyambutnya saat ia memasuki mulut hutan. Walau siang hari, hutan itu gelap. Semakin dalam, cahaya matahari dihalangi masuk oleh daun-daun dari pepohonan yang tinggi besar.

Jauh masuk ke dalam hutan, pemuda itu berhenti di salah satu pohon yang diameternya sebesar sumur tua. Ia mengambil belati kecil dari saku celananya, lalu menggores batang pohon hingga tercium bau kapur. Ia lanjut mengerik getah pohon, ditampung pada sebuah bejana kecil yang ia bawa.

"Aku tidak menyangka akan tumbuh di sini," kata Yul berbicara sendiri.

Matanya berkilat-kilat melihat betapa banyak tetesan getah yang ia kumpulkan. Ia membungkus bejana itu dengan daun kering yang jatuh di tanah, lalu dilapisi lagi dengan sebuah kain berwarna hitam.

"Egan," panggil Yul tiba-tiba, entah untuk siapa.

Tak lama suara yang terdengar mendayu-dayu menyahut, "Ya, Master."

The MercenaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang