Bintang : Dua

73 10 8
                                    

2 jam hanya berkutat dengan kesedihan sudah cukup bagiku. Kuputuskan untuk tidak terlalu berharap dihubungi Rama malam ini. Aku sudah sampai di titik "Yasudahlah." artinya hanya memasrahkan diri. Terlalu banyak berharap hanya akan berakhir menyakiti diri sendiri.

Beberapa saat moodku sudah kembali baik dan semesta malah mengangguku lagi. Suara ketukan di jendela membuatku terkesiap. Siapa yang mengetuk jendelaku jam 10 malam??? Maling??? Aku mengambil buku diktatku yang paling tebal di meja. Bersiap untuk menghajar siapapun yang menganggu. Aku memang orang yang nekat.

Dengan cepat kusingkap gorden jendelaku. Buku diktat ini sudah siap untuk diayunkan kencang namun tertahan. Yang kulihat bukanlah maling ataupun setan, tapi sih tampan Rama yang bertengger di jendelaku dengan santainya.

Aku membuka jendela kamarku. Mempersilahkannya masuk. Menatapnya dari atas ke bawah. Ini bukan mimpi kan? Dia masih mengenakan pakaian yang sama seperti update instagram-nya tadi. Rama menepuk beberapa bagian pakaiannya yang terlihat kotor, mungkin karena ulahnya yang manjat jendela tadi.

Dia meletakkan barang bawaannya di meja belajarku. Sebuah kantong plastik yang cukup besar. Perlahan dia keluarkan isinya satu persatu.

"Ini obat buat tangan dan lutut kamu." ujarnya sembari meletakkan beberapa obat disampingku.

"Ini donat buat perut kamu." ucapnya kembali sambil menyerahkan sebungkus donat diatas meja belajarku. Rama sangat paham kalo aku bisa dilemahkan dengan hanya sekedar donat.

"Terus ini." dia menunjuk badannya sendiri. Membuatku mengernyit heran. "Aku. Buat kamu." ujarnya dengan nada serius.

Aku harusnya meleleh ya? Cowok ganteng/tampan hadir di kamarku jam 10 malam dan menggombal. Harusnya aku meleleh dong. Yang ada aku malah menaikkan buku diktatku, bersiap untuk memukulnya karena sebal.

Dengan sigap Rama menahan lenganku. Tawanya menguar pelan. Dia selalu senang membuatku kesal. Pacarku ini mendudukkan diri di sampingku. Meraih jari-jemariku yang terluka dan mulai membubuhkan betadine yang dia bawa.

"Lain kali hati-hati." ujarnya pelan sambil merawatku dengan telaten. Dasar aneh, padahal tadi sewaktu aku jatuh live didepannya ya dia hanya menonton saja.

Setelah selesai dia berdehem pelan sambil menatapku.
"Rino ganteng ya?" tanyanya entah kenapa  terkesan serius.

"Iya." jawabku langsung seadanya.

Wajah Rama merengut kesal. Dia mengenggam lenganku seperti ngotot sendiri.
"Jawaban salah! Gantengan aku!"

Perhatiannya teralih ke lututku. Kembali meraih obat-obatan diatas meja dan mulai membubuhkannya pada luka yang hampir mengering itu. Ternyata dia belum selesai membahas Rino. Malah lanjut mengomel tanpa henti seperti anak kecil.
"Cih. Sok-sokan ngebantu macam drama Korea. Dia pikir ini The Heirs apa?" ujarnya dengan nada cibir.

Senyum terulas lembut di bibirku. Aku menggeleng pelan karena tingkahnya, tidak setuju dia mencibir Rino yang baik denganku.
"Rino itu teman kamu Ram." ujarku mengingatkannya.

"Dan kamu pacar aku."
Rama ya Rama. Tetap saja dia tidak mau kalah. Dia selalu keberatan jika ada cowok yang bersikap terlalu dekat denganku. Mungkin salah satu sikapnya yang masih bisa dibilang manis diantara sikap menyebalkannya yang cenderung penuntut.

Aku menghela nafas kecewa. Tanpa sengaja berucap lirih jujur dari hati,
"Yang nggak diakui." pelan tapi begitu menyakitkan bagiku.

Rama menggerakan tangannya, mengusap lembut pipiku. "Maaf." ujarnya memahami kegundahanku. Mungkin yang kesekian kali dia meminta maaf. "Beberapa hari ini aku ada jadwal Rapat Senat." dan tentunya diiringi dengan penjelasan yang menjadi penyebab dia menghilang.

His and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang