Bintang : Satu

125 11 6
                                    

Aku mengetukkan jariku pada meja rias. Memandang bayanganku yang tampak miris kian detik. Memang tidak pernah mudah untuk menunggu. Harapanku digantungkan pada benda pipih diatas meja, yang daritadi diam tak bergerak.

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Tetap saja aku menatap ponselku dengan nanar. Berharap penantianku berakhir ketika sebuah pesan atau panggilan masuk kesana. Sayangnya nihil, tak ada apapun sama sekali.

Dia kemana? Seharian tidak ada kabar sama sekali. Aku malah berakhir jatuh semakin gusar. Perasaan seperti ini selalu terasa menyebalkan. Ini memang bukan yang pertama, sudah kesekian kalinya aku harus menelan rasa khawatir dan rindu di dalam dada. Mau bagaimana lagi? Berkali-kali takkan pernah cukup untuk membuatku kuat melewati ini.

Suara ketukan di pintu kamarku kemudian membuyarkan penantianku. Adikku hadir dari balik pintu, menatap kakaknya penuh pandangan iba.
"Dia masih belum hubungin lo?" tanyanya tepat ke wajahku.

Aku hanya bisa diam menggeleng. Tertunduk lesu makin menyedihkan. Adikku mendudukan diri di ranjangku, memeluk guling dan berniat menemani kakaknya yang sedang galau.

"Lo tuh kayak nggak punya pacar tahu nggak." ujarnya untuk yang kesekian kalinya. Karena lagi-lagi, kejadian ini bukan yang pertama kali. Adikku mungkin sudah bosan melihatku menunggu dan menunggu bodoh seperti ini.

"Dia mungkin... sibuk." ucapku dalam suara pelan. Bahkan aku sendiri tak yakin dia ada dimana dan sedang apa. Yang kulakukan selama ini hanyalah membelanya, entah untuk apa dan bagaimanapun caranya.

Adikku berdecak, malas mendengar jawaban yang sama berkali-kali. Dia memperhatikanku lekat sambil berbisik lirik, "Ka..."

Aku mendongak, memusatkan perhatian padanya. Menunggu kalimat selanjutnya dengan tenang. Kudengar helaan nafas di seberang sana, suaranya bergetar sambil bertanya sendu, "Pernah mikir nggak sih, dia sebenernya sayang apa nggak sama lo?"

Aku mengerjap mendengar hal itu. Tertegun sendiri memikirnya. Aku tahu adikku tak bermaksud jahat menanyakan hal tersebut. Hanya itu memang cukup menohok hati kecil ini. Tanpa sengaja aku mengalihkan pandanganku darinya, adikku kembali menghela nafas frustasi. Selanjutnya dia malah meninggalkanku untuk tenggelam dalam kesendirian dan pikiranku sendiri.

Kakakmu ini, pasti terkesan sangat menyedihkan ya?
Tanyaku membatin pada punggungnya yang melesu menjauh. Aku sendiri bisa merasakan rasa pahit merasuk dalam diriku, sembari masih menatap nanar ponselku yang tak menunjukkan kehadiran pesan atau panggilan masuk dari seseorang.

————

Langkahku tertatih kewalahan karena membawa setumpuk buku yang dititipkan dosen beberapa menit lalu. Sialnya aku hadir disana dan dijadikan santapan empuk untuk disuruh-suruh. Ini terasa sangat berat, maklum tubuh kecilku memang sebenarnya tidak sanggup membawa semua ini sendirian.

Pandanganku pada koridor kampus malah terfokus akan kehadirannya. Iya, dia yang selalu kutunggu dan kunantikan. Bersinar disana dikelilingi orang-orang populer dan gadis-gadis cantik. Aku mengeratkan genggamanku pada buku-buku tersebut, tiba-tiba merasa gugup tanpa sebab.

 Aku mengeratkan genggamanku pada buku-buku tersebut, tiba-tiba merasa gugup tanpa sebab

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
His and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang