Kartini

52 5 2
                                    

"Lo kaya cowok tahu nggak."

"Barbar amat jadi cewek."

"Lo bisa lebih feminim nggak sih?"

Berbagai kalimat pedas dilontarkan olehnya. Aku sudah sangat terbiasa akan hal ini. Mau bagaimana lagi? Aku memang tidak cantik dan tidak pernah cantik. Aku hanya mendengus sekilas ke arahnya. Bodoamat dengan kata-kata seperti itu.

Yang berucap adalah teman masa kecilku, Reyhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang berucap adalah teman masa kecilku, Reyhan. Sedari kecil kami selalu bermain bersama, dia hafal mati bagaimana kelakuanku. Namaku Sania, mungkin nama itu sendiri terkesan lebih anggun daripada sikapku. Aku yang tumbuh dibesarkan oleh Papa tentu banyak mengambil sikap dan sifatnya yang cenderung simple dan cuek. Berbanding terbalik dengan sikap-sikap seorang gadis pada umumnya.

Contohnya saja saat ini, mungkin gadis lain akan makan dengan porsi sedikit ketika berada di rumah orang lain namun aku dengan santainya menghabiskan 2 piring masakan Mama Reyhan. Tentu mengundang omelan dan decakan dari cowok itu. Antara tidak terima makanannya dihabiskan atau prihatin dengan sikapku.

Ini bukan omelan pertama yang keluar dari mulutnya. Bertahun-tahun aku harus terus mendengarkannya. Dia memang menyebalkan, tak pernah ada pujian yang dia lontarkan untukku. Entah mungkin bibirnya hanya tercipta untuk mengumpat dan mengomel.

Mama Reyhan tersenyum lembut melihat interaksi kami. Mama sudah seperti ibu sendiri bagiku karena aku tidak memiliki sosok ibu yang hadir dalam hidupku. Dia malah mendukungku, menambahkan nasi ke atas piringku dan mendapat suara protes dari Reyhan.

"Kebaya kamu untuk Hari Kartini udah siap San?" tanya Mama sambil menatapku.

Setiap tahunnya sekolah mengadakan acara Kartini, dimana para siswi akan menggunakan kebaya dan para siswa akan menggunakan batik. Aku sudah menduga Mama akan memastikan persiapan Hari Kartini-ku berjalan dengan lancar.

Belum sempat aku menjawab eh Reyhan sudah berkata duluan,
"Paling juga dia nggak ikut. Lebih memilih bolos daripada harus dandan." ujarnya penuh keyakinan sepihak.

Well, itu memang ada benarnya. Setiap tahun aku selalu menghindar dari tanggal 21 April karena merasa tidak ingin direpotkan dengan huru-hara harus menjadi lebih gadis. Bukannya aku tidak ingin tampak cantik, hanya saja prosesnya itu loh yang sangat amat menjadi beban.

Kalian tahu kebaya kan? Mungkin memang bagus untuk dikenakan karena membentuk lekuk tubuh kita para perempuan namun bagiku pakaian itu tidak nyaman untuk dikenakan. Bahan kain kebaya yang tidak menyerap keringat membuatku merasa kepanasan dan seringkali gatal jika menggunakan kebaya.

Ditambah lagi dengan ribetnya harus menata rambut sedemikian rupa, menggunakan riasan tebal sepanjang hari. Sama sekali tidak nyaman untuk dirasakan. Benarkan? Apa hanya aku yang merasa begitu? Orang-orang harus mengakui bahwa untuk menjadi cantik seringkali kenyamanan harus dikorbankan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

His and HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang